Kenali dan Lakukan Treatment terbaik untuk “Acne”

Bismillahiorrohmanirrohim

Kebanyakan remaja yang memasuki usia puber pernah mengalami ini, tak menutup kemungkinan bagi mereka yang sdh tidak puber lagi ( hanya saja frekuensinya menurun ). Mengenal lebih dekat tentang acne (jerawat).

Bagaimana acne muncul?

1. Produksi kelenjar minyak yang berlebih, yang diperburuk dengan penyumbatan pori kulit oleh sel kulit mati atau sisa make up dan debu. Ini yang sering kita sebut komedo (baik blackhead ataupun whitehead)

2. Penyumbatan akan merangsang proses peradangan (reaksi imun) pada kulit disekitarnya, sehinggga acne tampak kemerahan dan menonjol.

3. Terdapat super infeksi dari bakteri p. acne, karena kondisi yang mendukungnya untuk tumbuh (anaerob) sehingga tampak nanah (pustula)

 

Ini penampakan yang biasa kita lihat:

a. Komedo

b. Acne meradang

c. Pustula

Treatment apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengatasi acne?

1. Facial di skin care yang terjamin “sterilitas” alatnya, jika sudah terlanjur ada komedo di wajah kita. tapi ingat jangan lakukan facial saat acne meradang ( ini akan memperburuk acne)

2. Minum Obat jika perlu, tentunya konsultasikan dahulu dengan ahlinya

3. Menghindari faktor-faktor yang membuat acne muncul kembali, diantaranya:

  • Perhatikan produk/ kosmetik yang anda gunakan, adakah kandungan zat yang bersifat komedogenik (memacu munculnya komedo)
  • Jangan malas untuk membersihkan wajah sebelum tidur atau setelah beraktivitas dari luar rumah, ini untuk menjaga agar pori kulit kita tetap bersih.
  • Hindari stress, makan pedas, karena akan memacu produksi kelenjar minyak kita

 Mari lakukan treatment yang tepat, dan jangan tunggu sampai acne anda meradang. karena jika acne telah terlanjur meradang dan bernanah, penyembuhannya akan menimbulkan masalah lain yaitu bekas acne yang menghitam ataupun scar (bopeng2) seperti ini :

Sumber : dari berbagai sumber 

JIka aku ditanya tentang “Sabar”, ini jawabku…..

Bismillahirrahmanirrohim…..

Jika seseorang berkeluh kesah kepada kita, menceritakan tentang kisah hidupnya. Dia bertanya “apakah aku masih termasuk orang yang sabar?” ataukah sebaliknya ( berkeluh kesah karena “tidak sabar” dengan takdir Alloh Subhanahu wata’ala)

Ini yang sedikit aku ketahui tentang “sabar”, semoga setiap kita bisa bersabar atas segala sesuatu yang terjadi pada diri kita. 

Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Sabar merupakan sebuah kata yang ringan diucapkan, namun sangat bermakna dalam kehidupan. Dengannya, perjalanan hidup seseorang akan selalu terbimbing di atas kebenaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ

“Kesabaran itu adalah cahaya.” (HR. Muslim no. 223, dari sahabat Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)

Al-Hafizh an-Nawawi rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya kesabaran adalah amalan yang terpuji dan pelakunya akan selalu terbimbing di atas kebenaran.” (Syarh Shahih Muslim 3/101)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Sebuah petunjuk (al-huda) tidak akan diraih melainkan dengan ilmu, sedangkan kemudahan untuk beramal dengan ilmu (ar-rasyad) tidak akan diraih melainkan dengan kesabaran.” (Majmu’ Fatawa 10/40)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah  menjadikan sabar sebagai kuda tunggangan yang tak kenal lelah, pedang yang tak pernah tumpul, prajurit yang pantang menyerah, benteng kokoh yang tak bisa dihancurkan dan ditembus. Sabar merupakan saudara kandung kemenangan. Di mana ada kesabaran, di situ ada kemenangan.” (Uddatush Shabirin, hlm. 4)

Secara etimologis, sabar mempunyai arti menahan. Maksudnya, menahan kalbu dari rasa kesal terhadap ketentuan Allah Subhanahu wata’ala (takdir), menahan lisan dari berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobekrobek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya. Di atas tiga asas itulah kesabaran dibangun. (al-Wabilush Shayyib karya al-Imam Ibnul Qayyim, hlm. 5)

Adapun hakikat sabar itu sendiri adalah sebuah budi pekerti luhur yang dapat menahan seseorang dari perbuatan yang tidak baik. Sabar termasuk salah satu dari kekuatan batin (psikis) yang dapat menstabilkan jiwa seseorang sehingga menjadi baik dan lurus. (Uddatush Shabirin, hlm. 11)

Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sabar disebutkan dalam beberapa bentuk lafadz yang mempunyai kandungan makna berbeda-beda;

1. Shabr ( صَبْرٌ ): kesabaran yang dilakukan dengan mudah.

2. Tashabbur ( تَصَبُّرٌ ): kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan.

3. Ishthibar ( اِصْطِبَارٌ ): puncak dari tashabbur ( تَصَبُّرٌ ). Maksudnya, puncak dari kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan.

4. Mushabarah ( مُصَابَرَةٌ ): kesabaran yang dilakukan di medan laga saat berhadapan dengan musuh. (Lihat Uddatush Shabirin, hlm. 15—16)

Ditinjau dari sisi keterkaitannya dengan Allah Subhanahu wata’ala, sabar terbagi menjadi tiga,

1. Sabar dengan Allah Subhanahu wata’ala ( ashshabru billah). Maksudnya, memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meyakini bahwa Dia-lah Dzat yang menjadikan seorang hamba bersabar. Betapa pun seseorang mampu bersabar maka semua itu berkat pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala, bukan kemampuan dirinya semata. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (an-Nahl: 127)

Makna ayat di atas, jika Allah Subhanahu wata’ala tidak memberikan pertolongan kepadamu untuk bersabar, niscaya engkau tidak akan mampu bersabar.

2. Sabar karena Allah Subhanahu wata’ala( ashshabru lillah). Maksudnya, kesabaran yang dilakukan karena kecintaan kepada Allah Subhanahu wata’ala, menginginkan wajah-Nya, dan taqarub kepada-Nya. Bukan untuk menonjolkan diri, ingin dipuji orang, dan tujuan buruk lainnya.

3. Sabar bersama Allah Subhanahu wata’ala (ashshabru ma’allah).

Artinya, kesabaran seorang hamba bersama syariat Allah l dan segala ketentuan hukum-Nya secara berkesinambungan, berteguh diri di atas syariat dan hukum tersebut, berjalan di atasnya, serta menjalankan segala konsekuensinya. Hidupnya selalu dikendalikan oleh syariat dan hukum tersebut, kapan saja dan di mana saja ia berada.

Demikianlah kondisi seseorang yang bersabar bersama Allah Subhanahu wata’ala. Ia senantiasa menjadikan dirinya berada di atas segala yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan dicintai-Nya. Kesabaran yang seperti ini adalah jenis kesabaran yang paling berat dan sulit. Itulah kesabaran yang ada pada diri ash-shiddiqin (orangorang yang sangat kuat keyakinannya kepada Allah Subhanahu wata’ala). (Madarijus Salikin karya al-Imam Ibnul Qayyim, 2/157)

Dalam ranah kehidupan beragama, para ulama mengklasifikasi sabar menjadi tiga,

1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.

2. Sabar dari perbuatan maksiat,  selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh AllahSubhanahu wata’ala.

3. Sabar atas segala musibah yang menimpa. (Lihat Qaidah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 90—91, Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi 3/101, Madarijus Salikin 2/156, dll.)

Perbuatan apa sajakah yang dapat meniadakan (menafikan) kesabaran? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 228), hal-hal yang menafikan kesabaran adalah rasa kesal dalam kalbu, berkeluh kesah dengan lisan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, dan melakukan perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya.

Bagaimana halnya dengan berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, apakah menafikan kesabaran? Berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, tidak menafikan kesabaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub q yang berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya’.” (Yusuf: 86)

Meski demikian, Allah Subhanahu wata’ala menyitir ucapan Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam yang lainnya,

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ عَسَى اللَّهُ أَن يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Yusuf: 83)

Adapun menyampaikan kesulitan yang dihadapi (curhat) kepada makhluk, jika untuk meminta bimbingan dan bantuan untuk menghilangkan kesulitan tersebut, tidak menafikan kesabaran. Misalnya, keluhan pasien kepada dokter,  orang yang dizalimi kepada seseorang yang dapat membelanya, atau curhat seseorang yang sedang mengalami problem kepada orang lain yang diharapkan bisa memberikan solusinya.

Bagaimanakah dengan rintihan di kala sakit? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 229), rintihan di kala sakit ada dua macam; rintihan yang mengandung keluh kesah maka hukumnya makruh, sedangkan rintihan untuk melepas kegundahan dan menghibur diri maka tidak mengapa.

Wallahu a’lam.

Sumber : http://asysyariah.com/kajian-utama-rahasia-di-balik-kata-sabar/

Pakaian Wanita Muslimah

Gambar

Al-Ustadz Muhammad Afifuddin

Dalam surat an-Nur ayat 31, tatkala Allah Subhanahu wata’ala melarang kaum wanita menampakkan perhiasannya kepada orang lain, AllahSubhanahu wata’ala mengecualikan,

أَوۡ نِسَآٮِٕهِنَّ

“Atau wanita-wanita mereka.”

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, “Maksudnya, seorang wanitamenampakkan perhiasannya kepada wanita-wanita muslimah….”

 Pakaian Wanita di Hadapan Wanita Lain

  Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah wanita diperbolehkan memperlihatkan kepada wanita lain bagian di atas pusar dan di bawah lutut. Adapun antara pusar dan lututtidak diperbolehkan. Ini adalah mazhab Hanbali, Syafi’i, serta dirajihkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh Muqbil, dan sejumlah ulama yang lain. (al-Fatwa fi Zinati binti Hawa, hlm. 96—102)

Pendapat yang rajih dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara wanita muslimah dan wanita kafir. Al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang sahih, seorang wanita diperbolehkan menampakkan yang di atas pusar dan di bawah lutut di hadapan wanita lain, baik muslimah maupun kafirah. Adapun antara pusar dan lutut, termasuk aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada siapa pun. Seorang wanita tidak boleh melihatnya dari wanita lain, baik muslimah maupun kafirah, orang dekat maupun jauh, sebagaimana halnya aurat lelaki di hadapan lelaki lainnya. Seorang wanita diperbolehkan melihat bagian dada, kepala, betis dan semisalnya dari wanita lainnya,sebagaimana seorang lelaki boleh melihatnya dari lelaki lainnya bagian dada, kepala, dan betisnya. Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa muslimah tidakboleh menampakkan (bagian tersebut) di hadapan wanita kafir, adalah pendapat yang lemah menurut yang sahih dari dua pendapat ulama.

Sebab, para wanita Yahudi dan wanita penyembah berhala di masa Nabi  Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa masuk menemui para istri Nabi n untuk menunaikan keperluan. Tidak ada juga (riwayat) yang menyebutkan bahwa para istri Nabi  Shallallahu ‘alaihi wasallam berhijab dari mereka, padahal istriistri beliau adalah wanita yang paling bertakwa dan paling mulia.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/44. Lihat al-Fatwa hlm. 99 dan al-Mausu’ah al-Baziiyah 3/1498—1501)

Pertanyaan: “Kebanyakan wanita menyebutkan bahwa aurat wanita di hadapan wanita lain adalah dari pusar sampai lutut. Ada sebagian wanita tidak canggung memakai pakaian ketat atau terbuka (di hadapan wanita lain, -pen.) hingga tampak secara luas bagian dada dan kedua telapak tangannya. Apa komentar Anda?”

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Yang dituntut dari seorang muslimah adalah memiliki rasa malu, menjadi teladan yang baik bagi wanita muslimah yang lain, dan tidak menampakkan di hadapan kaum wanita selain yang biasa tampak di tengah-tengah wanita salehah (yang taat beragama). Ini yang lebih utama dan lebih berhati-hati. Sebab, bermudah-mudah menampakkan sesuatu yang tidak perlu ditampakkan akan mendorong muslimah bermudah-mudah dalam membuka auratnya yang diharamkan. Wallahu a’lam.” (al-Muntaqa min Fatawa al- Fauzan 3/461)

Pakaian Wanita di Hadapan Mahram

Adapun di hadapan mahramnya, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Jumhur (mayoritas) ulama berpandangan, di hadapan mahram, wanita boleh memperlihatkan apa yang di atas pusar dan di bawah lutut sebagaimana halnya di hadapan wanita yang lain. Sementara itu, sebagian ulama menyatakan, yang boleh ditampakkan adalah bagian-bagian yang biasa tampak, seperti kepala, leher, telapak kaki, tangan, dan semisalnya, serta tidak menampakkan sebagian yang biasa tertutup, seperti dada, punggung, dan semisalnya. Al-‘Allamah al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah menjelaskan, “Adapun di hadapan mahramnya, wanita (boleh) menampakkan anggota wudhunya, seperti tangan hingga lengan (bahkan) sampai ketiak. Begitu juga kaki hingga kedua mata kaki sampai pertengahan betis. Wanita juga diperbolehkan menyusui bayinya di samping ayah dan saudara laki-lakinya, apabila aman dari fitnah, wallahul musta’an.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 285, tartib: al- Mashra’i. Lihat al-Fatwa hlm. 100)

Al-‘Allamah al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketika kita berpendapat bahwa wanita boleh menampakkan bagian ini dan itu, tidak berarti pakaiannya hanya sebatas itu. Maksudnya, apabila seorang wanita memakai pakaian (panjang) sampai mata kaki lalu terlihat kedua betisnya karena kesibukan atau yang lainnya, dia tidak berdosa apabila yang di sisinya hanya ada mahramnya atau wanita lain. Adapun pakaian ini, kita larang dan kita peringatkan.

Demikian pula sabda Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam‘Janganlah seorang wanita melihat aurat wanita yang lain.’

Ini tidak berarti bahwa seorang wanita diperbolehkan memakai sesuatu yang hanya menutupi antara pusar dan lututnya. Tidak ada seorang pun yang berpandangan demikian. Yang dimaksud adalah tatkala seorang wanita memakai pakaian longgar dan panjang, lantas tersingkap bagian dada atau betisnya, maka wanita lain tidak diharamkan melihatnya. Contohnya, ada seorang wanita menyusui bayinya dan terlihat payudaranya karena menyusui.

Kita tidak menyatakan kepada wanita lain, ‘Haram hukumnya engkau melihat payudaranya,’ sebab bukan termasuk aurat. Adapun wanita yang mengatakan, ‘Aku tidak akan memakai sesuatu kecuali celana yang menutupi antara pusar dan lutut,’ tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian. Hukumnya tidak boleh.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa pakaian wanita sahabat di zaman dahulu adalah dari pergelangan tangan sampai mata kaki. Ini ketika mereka di rumah.

Apabila mereka keluar ke pasar, sudah diketahui dari hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa wanita memanjangkan pakaiannya. Rasulullah n juga membolehkan wanita memanjangkan pakaiannya satu hasta supaya tidak terlihat kedua telapak kakinya bila berjalan.” (Majmu’ As-ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah, lihat al-Fatwa hlm. 100—101) Kaum wanita juga tidak diperbolehkan memakai pakaian ketat atau pakaian mini walaupun di hadapan wanita lain atau mahram dan anaknya sendiri karena termasuk menampilkan aurat selain di hadapan suaminya. (lihat Muntaqa Fatawa al-Fauzan 3/475)

PAKAIAN WANITA DI HADAPAN BUDAKNYA

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa budak lelaki sama seperti mahram bagi seorang wanita. Jadi, dia boleh melihat tuannya seperti mahram melihatnya. Namun, sebagian ulama memberi ketentuan apabila diperlukan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhumeriwayatkan bahwa Nabi  Shallallahu ‘alaihi wasallam membawakan untuk Fatimah radhiyallahu ‘anha seorang budak lelaki yang beliau hibahkan untuknya. Anas berkata, “Fatimah memiliki pakaian yang apabila ditutupkan pada bagian kepalanya, kakinya tidak tertutupi. Apabila ditutupkan pada kakinya, kepalanya terlihat. Tatkala melihat kerepotan putrinya, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلاَمُكِ

‘Tidak apa-apa, orang yang (engkau malu padanya) hanyalah ayah dan budak lelakimu.’(HR. Abu Dawud no. 4106 dengan sanad hasan)”

Al-‘Allamah Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang membolehkan seorang budak lelaki melihat tuan perempuannya dan budak tersebut seperti mahramnya, (boleh) bersendiri dengannya, safar bersamanya, dan melihat darinya apa yang dilihat oleh mahramnya. Ini adalah pendapat ‘Aisyah, Sa’id bin Musayyib, salah satu pendapat asy-Syafi’i, ulama mazhab Syafi’i, dan mayoritas salaf….” (Aunul Ma’bud 11/129)

Namun, perlu diperhatikan bahwa hukum ini khusus bagi budak dan tidak berlaku untuk pembantu, pelayan, dan karyawan lelaki karena mereka bukanlah budak. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Sopir dan pembantu lelaki hukumnya seperti lelaki bukan mahram yang lainnya. Seorang wanita wajib berhijab dari keduanya apabila bukan mahramnya. Seorang wanita tidak boleh menampakkan aurat dan berduaan dengannya karena sabda Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam‘Tidak ada seorang laki-laki yang berduaan dengan wanita melainkan yang ketiga adalah setan’.” Seorang wanita tidak boleh menaati ibunya atau yang lain dalam hal bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah tartib Abu Malik hlm. 357)

PAKAIAN WANITA DI HADAPAN ANAK KECIL YANG TIDAK MEMAHAMI WANITA DAN AURATNYA

Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang pihak yang dikecualikan dari larangan wanita menampakkan perhiasannya,

أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٲتِ ٱلنِّسَآءِ‌ۖ

“Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (an-Nur: 31)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, “Yakni (diperbolehkan) karena mereka masih kecil, tidak paham kondisi dan aurat wanita, baik suaranya yang merdu (halus) maupun gemulainya dalam berjalan, bergerak, dan diam.” Apabila dia masih kecil, tidak paham itu semua, tidak mengapa masuk menemui wanita. Namun, apabila dia hampir baligh atau mendekati (usia) itu sehingga paham hal-hal di atas dan bisa membedakan wanita yang cantik dan tidak, tidak dibolehkan menemui wanita yang bukanmahramnya.

PAKAIAN WANITA DI HADAPAN SUAMINYA

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ (٥) إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٲجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُہُمۡ فَإِنَّہُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ (٦) فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٲلِكَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ (٧)

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istriistri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”(al-Mukminun: 5—7)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam  dari satu bejana.” (HR. al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 319)

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Wahai Rasulullah, aurat kami, apa yang boleh kami lakukan, apa pula yang tidak boleh?” Beliau menjawab,

اخْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ

“Jagalah auratmu kecuali dari istri dan budak wanitamu.” ( HR. Abu Dawud no. 4017, at-Tirmidzi no. 2769, Ibnu Majah no. 1920, dan Ahmad 5/3 dengan sanad hasan)

Argumen di atas menunjukkan, tidak ada batasan aurat antara pasangan suami istri. Masing-masing boleh menampakkan dan melihat seluruh badan pasangannya dengan syahwat ataupun tidak. Masing-masing boleh memakai atau melepas pakaian apa pun. Masing-masing boleh berhias dengan ragam dandanan dan hiasan dengan ketentuan:

a. Tidak ada unsur pelanggaran syariat.

b. Tidak ada unsur tasyabuh dengan orang kafir.

c. Tidak ada unsur tasyabuh dengan lawan jenis.

Wallahu a’lam.

Penutup

Kami tutup pembahasan ini dengan sebuah pertanyaan yang diajukan kepada asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, “Apakah benar seorang insan akan dihisab pada hari kiamat nanti tentang pakaian yang dia kenakan?” Beliau menjawab, “Benar. Dia (juga) akan ditanya tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dibelanjakan, sebagaimana tersebut dalam hadits yang mulia.” (Fatawa Islamiyah 4/169. Lihat al-Mausu’ah al-Baziah3/1540)

Semoga Allah Subhanahu wata’ala membimbing kita, keluarga, dan putra-putri kita kepada jalan yang benar dalam segala aspek kehidupan kita. Wallahul muwaffiq lish-shawab.

PENGABURAN MAKNA JILBAB

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah al-Imam dalam kitabnya, Ma’rakatul Hijab,menjabarkan secara panjang lebar misi dan makar besar musuh agama dalam memerangi hijab. Beliau menyebutkan tiga langkah yang mereka tempuh.

1. Memerangi hijab dengan ucapan dan pena.

Mereka mengerahkan media cetak, elektronik, dan lainnya untuk menyebarkan syubhat-syubhat yang membuat kaum muslimin, terkhusus kaum hawa, fobia terhadap hijab dan merasa bangga dengan gaya hidup bebas tanpa aturan agama.

2. Memerangi hijab dengan kekerasan dan teror.

Ketika langkah pertama tidak mendapatkan hasil yang memuaskan walaupun memakan banyak korban di kalangan muslimin, mereka melakukan langkah berikutnya, yaitu memerangi hijab dengan kekerasan. Di antara cara yang mereka lakukan adalah:

• Membuat undang-undang resmi negara yang melarang wanita memakai hijab. Yang melanggar akan diadili dan dihukum.

• Memerintahkan pihak keamanan untuk melepas paksa jilbab dan hijab yang dikenakan oleh wanita muslimah. Ini mereka lakukan di tempat-tempat umum dan di jalan-jalan, sebagai bentuk penghinaan terhadap hijab muslimah.

• Melarang pelajar dan guru muslimah yang berhijab memasuki tempat studi mereka, serta mengusir pelajar dan guru yang berhijab dari sekolah.

• Melarang seluruh pegawai negeri (pemerintahan) dan militer keluar ke jalan-jalan atau ke tempat umum dengan membawa serta wanita berhijab, walaupun itu adalah istri, ibu, putri, dan saudarinya sendiri. Orang pertama yang melakukan hal ini adalah Musthafa Kamal di Turki, pada 1926 M. Tindakannya diikuti oleh yang lainnya, seperti Syah Ridha Bahlawi di Iran, juga pada 1926 M, Muhammad Aman di Afganistan, Habib Baurqibah, penguasa Tunisia pada 1956 M, Gamal Abdul Nashir di Mesir, dan yang lainnya.

3. Memerangi hijab dengan cara mengubah modelnya

Ini adalah upaya terakhir yang mereka lakukan setelah upaya sebelumnya menuai protes dan reaksi keras dari ulama dan tokoh Islam. Tujuan dan target mereka adalah mengubah secara perlahan makna dan hakikat jilbab dan hijab yang syar’i hingga menjadi jilbab dan hijab fitnah. Mereka pun bisa memperdaya kaum muslimah tanpa ada protes dan reaksi. Atas nama mode dan perkembangan zaman, mereka membelokkan jilbab dan hijab menjadi ragam bentuk dan model. Muncullah jilbab dan hijab warna-warni, satu hijab dengan dua sampai empat warna. Tampil pula mode baru yang mengklasifikasi fungsi hijab; ada hijab sekolah, hijab kuliah, hijab kerja, hijab dokter, hijab pengantin, dan hijab santai, bahkan hijab untuk begadang dan hijab belasungkawa.

Ditambah lagi dengan hiasan-hiasan hijab yang beragam, potongan hijab yang ketat dan kecil hanya menutupi kepala dan leher. Semua ini mengubah hakikat hijab yang syar’i. Langkah ini tampaknya berjalan mulus. Hampir tidak ada penentangan dari kaum muslimin. Bahkan, kaum hawa era sekarang justru tersibukkan oleh model hijab modern ini. Padahal, secara syar’i, bentuk yang ada sekarang tidak bisa lagi dikatakan hijab, tetapi pakaian fitnah. Apalagi ketika sang wanita mengenakan atasan ketat dipadu dengan jeans ketat yang membentuk lekuk tubuh. (Lihat Majmu’ Rasail Ilmiyah wa Da’awiyah hlm. 359—394, asy-Syaikh al-Imam, cet. I, Darul Atsar, Shan’a, 2012 M/1433 H)

MELURUSKAN ISTILAH SEPUTAR JILBAB & HIJAB

Ada beberapa istilah syar’i yang harus dipahami dalam masalah ini. Di antaranya adalah:

1. Jilbab جِلْبَابٌ

Ada tujuh pendapat di kalangan ulama tentang maknanya. Pendapat yang rajih (kuat) adalah kain yang digunakan oleh wanita menutupi badannya di atas pakaiannya. Al-Baghawi rahimahullah dalam Tafsir-nya menyatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh wanita menutupi badannya di atas dir’ (gamis) dan khimar-nya.” (Tafsir al-Baghawi3/544, al-Ahzab: 59) Pernyataan senada juga disampaikan oleh al-Qurthubi rahimahullahdan Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya. Asy – Syaikh al – Albani rahimahullahmenyatakan, “Bisa jadi, yang dimaksud adalah ‘aqaah yang biasa dipakai oleh wanita Nejed dan Irak saat ini.” (Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 83)

2. Khimar خِمَارٌ

Maknanya adalah (kerudung) yang digunakan untuk menutup kepala, demikian disebutkan dalam an-Nihayah Ibnul Atsir, Tafsir Ibnu KatsirTafsir asy- SyaukaniMishbahul Munir al-Fayumi, dan yang lainnya. Ibnu Hajar t dalam al-Fath 8/490 menyatakan, “Khimar bagi wanita kedudukannya seperti imamah (serban) bagi lelaki.” Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menegaskan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” (Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 72) Terkadang khimar juga dipakai menutupi wajah, namun bukan sebagai suatu kebiasaan dan kelaziman.

3. Hijab حِجَابٌ

Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fayumi al-Muqri rahimahullah menjelaskan, “Makna asal hijab adalah benda yang memisahkan antara dua jasad.” (Mishbahul Munir, al-Fayumi hlm. 121) Dalam istilah berpakaian, hijab adalah sesuatu yang menghalangi lelaki melihat wanita, baik satir (tirai), tembok, pintu, maupun pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah menjelaskan, “Setiap jilbab adalah hijab dan tidak setiap hijab disebut jilbab….” (Jilbab hlm. 21) Beliau lalu menukil pernyataan Ibnu Taimiyahrahimahullah, “Ayat jilbab (al-Ahzab ayat 59, -pen.) ketika keluar dari rumah, sedangkan ayat hijab (al-Ahzab ayat 53, -pen.) ketika berbincang di dalam rumah.” (Jilbab hlm. 21)

4. Dir’un دِرْعٌ

Al-Fayumi t dalam Mishbakhul Munir al-Fayumi (hlm. 192) menukil penjelasan Ibnul Atsir rahimahullah bahwa dir’un bagi wanita adalah gamisnya. Lihat juga Mukhtar ash-Shihah (hlm. 113) karya Muhammad bin Abi Bakr ar-Razi rahimahullah. Ketika keluar rumah atau di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, wanita muslimah dianjurkan memakai dir’un (gamis) panjang yang menutupi tubuh dan kedua telapak kakinya. Boleh juga sampai isbal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Lebih bagus lagi jika dia memakai kaos kaki, dan lebih sempurna lagi apabila dia memakai celana panjang khusus wanita karena lebih menutupi aurat.

Adapun bagian atas tubuhnya dia tutup dengan khimar (kerudung) lalu ditambah jilbab panjang di atasnya yang menutup anggota tubuhnya. Bahkan, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berpendapat wajib bagi wanita memakai jilbab dan khimar sekaligus.Beliau mengatakan, “(Pendapat) yang benar sesuai dengan konsekuensi pengamalan ayat 31 surat an-Nur dan ayat 59 surat al-Ahzab, adalah apabila seorang wanita keluar rumah, dia wajib memakai khimar (kerudung) lalu memakai jilbab di atas khimarnya. Sebab, hal inilebih menutupi baginya sebagaimana yang telah kami jelaskan, dan jauh dari menampakkan bentuk kepala dan pundaknya….” (Jilbab hlm. 85)

Memadukan antara khimar dan jilbab bagi wanita yang keluar rumah tidak lagi diperhatikan oleh mayoritas wanita muslimah masa kini. Kenyataan yang ada, mereka terkadang hanya memakai jilbab saja atau khimar saja. Itu pun sering kali tidak secara sempurna menutupi, karena masih terlihat tengkuk, rambut ubunubun, atau lainnya yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk ditampakkan.” (Jilbab hlm. 85)

Apakah wanita muslimah harus memakai abaya? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab, “Yang dituntut adalah menutup (aurat), baik itu abaya maupun yang lainnya. Apabila masyarakat Anda memiliki pakaian panjang dan lebar yangbiasa mereka pakai untuk menutup aurat, seperti ajillah atau semisalnya, tercapailahmaksudnya. Tidak dipersyaratkan harus abaya. Setiap masyarakat mempunyai model pakaian dan kebiasaan.” (Lihat al-Mausu’ah al-Baziah 3/1543)

Sumber : http://asysyariah.com/kajian-utama-pakaian-wanita-di-hadapan-wanita-lain-dan-mahramnya.html

Jangan Lelah Belajar ^_^

Bismillaah,

Tulisan yang sempat tertunda untuk di posting, sebuah nasehat dari suami tercinta.

Belajar dari lidah yang tidak bertulang, mengalir ucapan begitu saja tanpa berpikir panjang. “Malas menulis, karena harus mikir”, ternyata menjadi teguran terhadap diri sendiri.

Tidak ada karya tanpa sebuah usaha, tidak akan ada keberhasilan tanpa perjuangan.

Semoga menjadi penyemangat dalam hari-hariku ke depan, “Jangan Lelah untuk Belajar”.

dipikirkan sejak 24 Januari 2012, baru dipostkan 18 Mei 2013

Mempersiapkan Menyambut Buah Hati

Bismillaah.

Semoga tulisan ini bermanfaat, untuk para ummahat yang sedang mempersiapkan segala kebutuhan untuk menyambut buah hatinya. Terutama bagi ummahat yang baru menyambut kehadiran anak pertamanya.

Tips pengelolaan dan rencana pengeluaran untuk menyambut si buah hati, dengan mempertimbangkan apakah nanti persalinan dapat dilakukan secara normal ataupun terpaksa harus saecar atas indikasi medis. Berikut kebutuhan yang dibutuhkan menyambut buah hati:

1.  Popok Kain 2 lusin

2. gurita bayi 1 lusin 

3. blus tidak berlengan 1 lusin 

4. blus berlengan pendek 1 lusin 

5.  blus tangan panjang 0.5 lusin 

6. jilbab bayi 0.5 lusin 

7. topi bayi 2 buah 

8. pampers New Baby 1 dus 

9. jaket bayi 2 buah 

10. selimut gendong ( ada tudung kepala) 2 buah 

11. kasa 1 dus

12. alkohol 70% 100ml  1 buah 

13. kapas 1 buah 

14. selimut bayi 2 buah

15. handuk besar 2 buah 

16. handuk kecil 2 buah 

17. washlap 0.5 lusin 

18. celana pendek 1 lusin 

19. celana panjang 0.5 lusin 

20. celana plastik 3 buah 

21. perlak 2 buah 

22. sarung tangan 4 buah 

23. kaos kaki 4 buah 

24. bantal+guling 2 set 

25. bedong bayi 4 buah 

26. sabun bayi 1 buah 

27. shampo bayi 1 buah

28. bedak bayi 1 buah 

29. minyak telon 1 buah 

30. baby oil 1 buah

31. cotton bud kecil 1 set 

32. kapas bulat 1 buah 

33. baby lotion 1 buah 

34. sisir berbunyi 1 buah 

35. gunting kuku 1 buah

36. bak mandi besar 1 buah 

37. alas bak mandi 1 buah

38. Ember besar dengan tutup 1 buah 

39. Ember kecil dengan tutup 1 buah 

40. kelambu bayi 1 buah 

41. jemuran bayi melingkar 2 buah 

42. tempat bedak bayi 1 buah 

43. tempat sabun 1 buah

44. penyedot hidung bayi (nasal aspirator), beli di apotek 1 buah 

45. tisue basah 1 buah 

46. minyak tawon 1 buah 

47. training cup 1 buah 

48. termos 1 buah 

49. sikat botol 1 buah 

50. sikat lidah 1 buah 

51. peniti bayi 1 lusin 

52. gendongan bayi 2 buah 

53. jarik 2 buah 

54. tas bayi 2 buah 

55. mainan bayi (dgantung ditempat tidur-warna mencolok, dgn suara) 1 buah 

56. gurita ibu 3 buah 

57. stagen 4 buah 

58. BH menyusui ( 2 nmr lebih besar ) 6 buah 

59. breast pad 1 pack 

60. Pembalut ibu melahirkan 2 lusin 

61. Betadin 400ml 1 buah 

Yang disebutkan di atas hanya kebutuhan pokok saja, belum belum termasuk box bayi dan troller. Jika memilih troller, pilih yang dapat diatur posisinya sehingga dapat digunakan sampai buah hati para ummahat berusia 2 tahun.

Harga untuk masing-masing barang dapat dibrowsing sendiri di toko langganan atau tempat perkulakan favoritnya (agar mendapat harga yang paling murah).

Selain kebutuhan di atas, ada baiknya para ummahat menanyakan tarif RS di tempat ummahat nanti akan merencanakan persalinan. Sebagai bahan pertimbangan, tanyakan semua tarif kamar semua kelas, dan biaya persalinan untuk masing-masing kelas baik persalinan normal dengan bidan atau dokter spesialis, juga persalinan saecar. Sehingga kita bisa memperkirakan total biaya yang harus dipersiapkan dari sekarang.

Semoga persalinan kita berjalan lancar, InsyaAlloh. Wa barookalloohu fiik.

(Ummu Aisyah, 24 minggu kehamilan anak pertama)

Beginilah Seharusnya Sikap Seorang Muslim terhadap Hari Raya Orang Kafir

Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.
Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR IDENTIK DENGAN AGAMA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

SETIAP UMAT BERAGAMA MEMILIKI HARI RAYA
Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48). Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR
Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:
1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)
Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:

Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)
3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)
4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

DOSAKAH BILA MELAKUKAN HAL ITU DALAM RANGKA MUDAHANAH (BASA BASI)?
Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)
Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya): “Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

ORANG-ORANG KAFIR BERGEMBIRA BILA KAUM MUSLIMIN IKUT BERPARTISIPASI DALAM HARI RAYA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

BOLEHKAH SEORANG MUSLIM IKUT MERAYAKAN TAHUN BARU DAN HARI KASIH SAYANG (VALENTINE’S DAY)?
Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.
Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257). Wallahu A’lam.

(Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=89)

Tuntunan Memberi Nama Anak

Tuntunan Islam dalam Pemberian Nama

Andira, Jacklin, Yuli, Diana, Suzan, Paulia, Victoria, Gloria, Lara, Linda, Maya tidak hanya paten sebagai nama-nama orang kafir tetapi juga melekat pada sebagian nama anak-anak kaum muslimin karena dianggap keren, merasa bangga serta mengikuti kemajuan zaman.

Suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian kaum muslimin diliputi perasaan minder dan malu untuk memberi nama anaknya dengan nama Islami.

Sebagian lagi masih mempunyai semangat keislaman yang cukup sehingga memberi nama anaknya dengan nama yang sudah ‘dianggap’ Islami. Namun disayangkan, pada hakikatnya nama mereka belum sesuai dengan adab Islami. Contohnya nama “ ‘Abdurrasul Syihab Saifullah” atau “Fathin Nadiyah Rahmatullah” yang mungkin dianggap sebagai nama Islami yang bagus dan indah, tetapi ternyata nama ini bermasalah, dengan beberapa kekeliruan di dalamnya.

Sesungguhnya, metode penamaan anak tidak cukup hanya didasari perasaan subyektif bahwa nama itu indah, baik atau bagus semata, tetapi yang benar adalah nama yang sesuai dengan tuntunan syari’at.

Berikut ini etika dan hukum-hukum seputar pemberian nama yang sebagian besar pembahasannya kami sarikan dari Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan juga kaum muslimin.

PENDAHULUAN

Sesungguhnya nama merupakan identitas seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam memahami dirinya di saat bersamanya, atau saat bersikap kepadanya. Bagi seorang anak, nama merupakan sebuah perhiasan dan syi’ar yang dengannya ia akan diseru di dunia maupun di akhirat. Nama merupakan bentuk pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia termasuk pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam, bagaimana ia mengubah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain karena nama merupakan syi’ar baginya. Nama juga merupakan tanda yang dapat mengungkap identitas orang tuanya dan alat pengukur terhadap pemahaman diennya.

HUKUM PEMBERIAN NAMA

Allah subhanahu wa ta’ala menuntunkan kepada keturunan Adam untuk memberikan nama pada anak, sebagaimana Allah telah memberi nama “Yahya” kepada putra Nabi Zakariyya ‘alaihis salam yang akan dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.” (QS Maryam: 7)

Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ mengatakan bahwa para ulama bersepakat atas wajibnya memberikan nama, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Anak yang tidak memiliki nama tidak akan dikenal (majhul) dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak bisa dibedakan, karena nama berfungsi untuk menentukan, membedakan, dan mengenali si anak.

Pentingnya nama antara lain:

1. Nama adalah hal pertama yang diperuntukkan bagi anak ketika ia keluar dari kegelapan rahim

2. Nama adalah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya

3.  Nama adalah hal pertama yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang memiliki hubungan sifat pewarisan dan keturunan

4.  Nama adalah bekal bagi seorang anak untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.

WAKTU PEMBERIAN NAMA

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa waktu pemberian nama itu ada 3 macam:

1.  Memberinya nama pada hari kelahirannya

2.  Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya

3.  Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.

Perbedaan ini hanya bersifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang bisa ditoleransi) yang menunjukkan bahwa dalam persoalan ini ada kelonggarannya.

YANG BERHAK MEMBERI NAMA

Tidak ada perselisihan bahwa sang ayah adalah orang yang paling berhak untuk menamai anaknya. Jika seorang ayah berbeda pendapat dengan seorang ibu dalam menentukan nama untuk anaknya, maka ayahlah sebagai pihak yang diutamakan.

Berdasarkan hal tersebut, maka seorang ibu hendaknya tidak membantah dan menyelisihi. Sementara dalam musyawarah antara kedua orang tua terdapat suatu kesempatan yang luas untuk saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan antarkeluarga.

Sebagaimana telah diriwayatkan dengan shahih dari sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka biasa menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau berkenan memberikan nama. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah hendaknya bermusyawarah dalam memberikan nama dengan seorang ulama yang mengetahui tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam dien dan ilmunya agar menunjukkan kepadanya sebuah nama yang baik bagi anaknya.

NISBAH ANAK

Sebagaimana pemberian nama adalah hak bagi seorang ayah, maka seorang anak juga dinisbahkan (disandarkan) kepada ayahnya, bukan kepada ibunya, dan dia dipanggil dengan nama ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa disebut “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah…” (QS Al Ahzab: 5)

Namun ada kenyataan bahwa terjadi penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sehingga mereka mengatakan, misalnya Muhammad ‘Abdullah.

Ini merupakan uslub (tata bahasa) yang dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak sesuai dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki kedudukan dalam tata bahasa Arab (I’rob).

Apakah dunia telah mendengar seseorang yang menyebut nasab Nabi dengan mengatakan Muhammad ‘Abdullah?

Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh ibnu) ini telah mengundang kesamaran ketika disatukan antara nama laki-laki dengan nama perempuan, sebagai contoh Asma’ dan Kharijah. Nama ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.

Terdapat pula kekeliruan para istri yang menisbahkan namanya kepada suami. Misalnya istri bernama Fathimah bin ‘Abdullah, setelah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya menjadi Fathimah Ahmad. Ini banyak dijumpai pada masyarakat umum.

NAMA-NAMA YANG DISUNNAHKAN DAN DIPERBOLEHKAN

Urutan dan tingkatan nama-nama yang disunnahkan dan diperbolehkan adalah sebagai berikut:

1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman

Disunnahkan memberi nama dengan dua nama yakni ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hambanya Yang Maha Pengasih), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ أَحَبَّ اْلأَسْمَاءِ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR Muslim, Abu Dawud dan selainnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga telah menamai putra pamannya—‘Abbas radhiyallahu ‘anhu—dengan nama ‘Abdullah.

Di kalangan para sahabat ada sekitar 300 orang yang semuanya bernama ‘Abdullah. Begitu pula bayi pertama yang lahir dari kalangan kaum Muhajirin setelah hijrah ke Madinah adalah bernama ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu.

2. ‘Abdu dari Asmaul Husna

Disunnahkan memberi nama dengan ta’bid (memakai lafazh ‘abdu) dengan nama-nama Allah yang baik (asmaul husna), seperti ‘Abdul Aziz (hambanya Yang Maha Mulia), ‘Abdul Malik (hambanya Yang Maha menguasai), dan lain-lain.

3. Nama-nama Nabi dan Rasul

Para nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala merupakan pemimpin anak Adam. Akhlaq mereka merupakan semulia-mulia akhlaq dan amalan mereka merupakan amalan yang paling suci sehingga bila menamai dengan nama mereka akan mengingatkan kita pada kemuliaan mereka.

Ulama telah bersepakat akan bolehnya memberi nama dengan nama mereka. (Syarhu Muslim oleh Imam Nawawi 8/437 dan lihat Maratibul Ijma’ hlm. 154-155)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menamakan salah seorang anaknya dengan nama Nabi, sebagaimana sabda beliau:

وُلِدَلِي اللَّيْلَةَ غُلاَمُ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ

“Semalam telah lahir untukku seorang anak laki-laki, maka aku beri nama dengan nama moyangku, Ibrahim.” (HR Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Yang paling afdhol dari nama para nabi adalah nama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini beliau bersabda:

سَمُّوا بِاسْمِي وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي

Namailah oleh kalian dengan namaku dan jangan berkunyah dengan kun-yahku.” (Hadits riwayat Al Bukhari 10/571-Fathul Bari, Muslim 14/359-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4965, Tirmidzi 2841, dll)

4. Nama-nama Orang Shalih

Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ

“Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka.” (HR Muslim)

Seorang sahabat bernama Zubair bin Al ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu menamakan anak laki-lakinya yang berjumlah 9 orang dengan nama para syuhada. Mereka adalah:

a)  ‘Abdullah (diambil dari nama ‘Abdullah bin Jahsy, syahid dalam Perang Uhud)

b)  Al Mundzir (diambil dari nama Al Mundzir bin ‘Amr Al Anshari)

c)  ‘Urwah (diambil dari nama ‘Urwah bin Mad’ud Ats Tsaqafi)

d)  Hamzah (diambil dari nama Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, syahid dalam Perang Uhud)

e)  Ja’far (diambil dari nama Ja’far bin Abi Thalib, syahid dalam Perang Mu’tah)

f)  Mush’ab (diambil dari nama Mush’ab bin ‘Umair, pembawa bendera dan syahid dalam Perang Uhud)

g)  ‘Ubaidah (diambil dari nama ‘Ubaidah bin Al Harits, syahid dalam Perang Badr)

h)  Khalid (diambil dari nama Khalid bin Sa’id)

i)   ‘Umar (diambil dari nama ‘Umar bin Sa’id, saudara Khalid bin Sa’id terbunuh dalam Perang Yarmuk).

Demikian pula, dapat ditemukan di kalangan kaum muslimin ada seseorang yang menamai anak-anaknya dengan nama-nama Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali. Nama para sahabat Nabi antara lain: ‘Ammar, ‘Amr, Bilal, Hudzaifah, Jabir, Mu’awiyah, Salman, Sufyan, ‘Ukkasyah, Ubay. Nama para ulama seperti Al Fudhail, Syu’bah, Hammad, ‘Ubaid.

Dan ada pula yang menamai anak-anak perempuannya dengan nama-nama para ummahatul mu’minin, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni: Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Shafiyyah, Juwairiyah, Maimunah. Juga putri Nabi: Fathimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Banyak pula para shahabiyah seperti Asma’, Sumayyah, Ummu Sulaim, Ummu Waraqah, Asy Syifa’, Ummu Hakim, Ummu Aiman, Hindun, Ummu Syarik, Ummu Fadhl, Ar Ruba’i, Khansa’, Khaulah, Ummu Rumman, Ummu Umarah, Ummu Mahjan, dan lain-lain

5. Nama-nama yang Sifatnya Benar

Nama anak dinilai mengandung sifat syar’i jika memenuhi dua syarat berikut ini:

Pertama, nama tersebut berasal dari bahasa Arab, sehingga tidak termasuk di dalamnya setiap nama ‘ajam (asing/non Arab), campuran, ataupun diserap ke dalam lisan Arab.

Kedua, nama tersebut baik maknanya secara bahasa dan syar’i, sehingga tidak boleh menamai dengan nama-nama yang mengandung unsur tazkiyyah (menganggap dirinya suci), celaan ataupun cercaan. Contoh nama yang mengandung tazkiyyah: Aflah (yang paling berhasil), Rabbah (yang paling beruntung), Yassar (yang paling mudah), Muthi’ah (perempuan yang taat). Contoh nama yang mengandung celaan: ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat).

ADAB PEMBERIAN NAMA

Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:

1.  Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai

2.  Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin

3.  Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan

4.  Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang

5.  Memperhatikan kesesuaian

NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN

Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:

1.  Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya Ali), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya matahari), dan lain-lain.

2.  Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.

3.  Nama-nama ‘ajam (selain Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir seperti nama Petrus, George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan semisalnya. Ini merupakan taqlid (ikut-ikutan/membebek) kepada orang kafir yang bila disertai keyakinan bahwa nama-nama mereka lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin maka ini merupakan bahaya yang besar yang dapat menggelincirkan pokok keimanan.

4.  Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.

5.  Nama-nama ‘ajam dari Turki, Persia (Iran), Barbar atau selainnya yang tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, di antaranya Nariman, Syerehan, Nevin, Syeirin, Syadi, dan Jihan.

6.  Nama yang mengandung klaim terhadap apa yang tidak ada pada si penyandang nama, seperti Malakul Amlak (raja diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala sultan), Hakimul Hukkam (hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin seluruh manusia), Sittun Nisa’ (penghulu seluruh wanita).

7.  Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda.

NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN

Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:

1.  Nama yang menyebabkan hati cenderung untuk menjauh darinya karena makna yang terkandung padanya seperti Harb (perang), Murroh (pahit), Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka aibnya), Fahith (terancam bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan lain-lain.

2.  Nama yang mengundang syahwat yang banyak digunakan pada perempuan, di antaranya Ahlam (lamunan), Arij (perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan yang harum baunya), Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin (pembuat fitnah), dan Syadiyah (penyanyi).

3.  Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.

4.  Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).

5.  Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.

6.  Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).

7.  Nama-nama hewan yang terkenal dengan sifat kotor seperti Hanasy (ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz (landak), Qunaifadz (landak kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb (anjing), Kulaib (anjing kecil).

8.  Nama yang disandangkan kepada lafazh ad dien dan al Islam, seperti Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam). Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka dirinya diberi laqob (gelar) dengan Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga tidak suka diberi gelar Taqiyyuddin (yang menjaga agama). Beliau berkata, “Akan tetapi keluargaku menggelariku dengannya kemudian menjadi terkenallah gelar tersebut.”

9.  Nama yang murakkab (tersusun rangkap/lebih dari satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id. Nama-nama tersebut mengundang keraguan dan percampuran. Karenanya hal tersebut tidak dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang abad belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh Allah seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah (rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.

10.     Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.

11.     Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.

SOLUSI DARI NAMA YANG HARAM ATAU MAKRUH

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik.” (HR Tirmidzi 2/137, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 207)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengganti nama Hazn (kesedihan) dengan Sahl (mudah), nama Harb (perang) dengan Salam (damai).

Tampak pula dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengganti nama yang tidak baik dengan nama yang mendekati pengucapannya seperti beliau mengganti nama Syihab (meteor) menjadi Hisyam (kedermawanan), Jatstsamah (yang banyak mendekam) menjadi Hassanah (kebaikan).

Demikian pula mengganti nama ‘Abdun Nabi (hambanya nabi) menjadi ‘Abdul Ghani (hambanya Yang Maha Kaya), ‘Abdur Rasul (hambanya rasul) menjadi ‘Abdul Ghafur (hambanya Yang Maha Pengampun), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain) menjadi ‘Abdurrahman, Hanasy (ular berbisa) menjadi Anas (ramah).

SUNNAH MEMBERI KUN-YAH

Kun-yah adalah nama yang dimulai dengan kata “Abu” (ayah) untuk laki-laki dan “Ummu” (ibu) untuk perempuan, misalnya Abu Muhammad (ayahnya Muhammad) dan Ummu Muhammad (ibunya Muhammad). Demikian pula kun-yah dengan memakai kata “ibnu” (putra) dan “ibnatu” atau “bintu” (putri), seperti Ibnu ‘Umar dan Bintu ‘Umar.

Memberi kun-yah ini merupakan perkara yang sunnah, namun sayangnya banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.

Kun-yah dapat pula diberikan kepada anak kecil, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan kun-yahnya bukan dengan namanya, beliau bersabda:

يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟

“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?” (HR Al Bukhari 6203-Fathul Bari, Muslim 2150-Syarhun Nawawi, Abu Dawud 4969, Tirmidzi 1989, dan selainnya)

Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab tersendiri tentang masalah ini dan beliau namakan “Bab Memberi Kun-yah untuk Anak Kecil dan untuk Laki-laki yang Belum Memiliki Anak”.

Pemberian kun-yah itu tidak memutlakkan bahwa yang diberi kun-yah sudah memiliki anak. Sebagaimana ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memiliki kun-yah Abu Hafsh padahal tidak ada di antara putranya yang bernama Hafsh. Demikian pula Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak ada putranya yang bernama Bakr. Dari kalangan perempuan, telah ma’ruf bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki kun-yah Ummu ‘Abdillah padahal ‘Aisyah tidak memiliki seorang anak pun.

NISBAH KEPADA NEGERI KELAHIRAN, PEKERJAAN, KETERKENALAN, MANHAJ SALAF

Para salaf (pendahulu) shalih kaum muslimin ada yang dikenal dengan nama negeri kelahirannya, pekerjaan, dan hal-hal khusus/unik yang membuatnya dikenal masyarakat.

Sebagai contoh Muhammad bin ‘Ismail bin Al Mughirah yang kun-yahnya Abu ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang menyusun kitab (hadits) paling shahih setelah Al Qur’an, lahir di negeri Bukhara, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Al Bukhari.

Sahabat Nabi, Salman radhiyallahu ‘anhu bernisbah Al Farisi karena berasal dari negeri Persia. Banyak pula nisbah berdasarkan negerinya seperti Al Bashri karena lahir di kota Bashrah (Iraq), Al Mishri lahir di Mesir, Al Madani lahir di Madinah, Al Kufi lahir di Kufah (Iraq), Al Albani lahir di negara Albania, Al Jazairi lahir di Aljazair.

Ada Abu ‘Utsman, penulis  kitab ‘Aqidah As Salaf Ash-habul Hadits yang bernama asli Isma’il bin ‘Abdurrahman yang hidup di lingkungan pekerja pembuat sabun, maka beliau dinisbahkan dengan nama Imam Abu ‘Utsman Ash Shabuni.

Perawi hadits, Sulaiman bin Mihran diberi laqob (gelar/julukan) dengan Al A’masy (seorang rabun) karena beliau bermasalah dengan penglihatannya. ‘Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki Al A’raj (seorang yang cacat kakinya) karena memang ada kekurangan fisik pada kakinya. Pemberian laqob ini diperbolehkan hanya dalam rangka pengenalan, tetapi diharamkan penyebutan laqob tersebut jika dalam bentuk pelecehan.

Sedangkan nisbah kepada manhaj yang selamat seperti bernisbah dengan As Salafi (pengikut salaf), Al Atsari (pengikut atsar/hadits) merupakan perkara yang terpuji. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).”

Rujukan:

1.  Tasmiyatul Maulud karya Syaikh Bakr Abu Zaid, edisi Indonesia: Nama-nama Indah buat Sang Bayi, cetakan V, Penerbit Al Qowam

2.  Berhias dengan Nama Syar’i (Syarat, Hukum, dan Adab-adabnya) oleh Abul Muslim Al Atsari & Zulfa, artikel di Majalah Salafy edisi XX/1418/1997 Lembar Muslimah hlm. 8-19

3.  CD-45 Tasjilat Al Atsariyyah track 01: Biografi Imam Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdirrahman Ash Shabuni An Naisaburi

4.  Mengapa kita harus menamai diri kita Salafy, artikel di Majalah Salafy edisi perdana/Syaban/1416/1995, hlm. 8-10

sumber link: http://ummuyahya.wordpress.com/2009/11/01/tuntunan-islam-dalam-pemberian-nama/]

Wanita Ahli Surga dan Ciri -cirinya

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad: 15)

Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah: 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya:

Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah: 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman: 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman: 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah: 35-37)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau:

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka: “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan: “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah:

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13)

Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini)

Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=161

Pendahuluan

Semoga setiap apa yang kita lakukan terdapat manfaat di dalamnya, dan semoga dijauhkan dari hal – hal yang kurang bermanfaat.

Mengawali menulis, yang terpikir sebelumnya hanya ingin berbagi ilmu yang telah didapatkan, agar yang merasakan manfaatnya tidak hanya diri sendiri tetapi orang lain juga berkesempatan menikmatinya.

Aamiin.