Kulit Wajah Sehat

 

Setiap wanita terutama dan juga tak mau ketinggalan kaum pria semua akan memperhatikan kondisi * kesehatan wajahnya. Kesehatan wajah maknanya tak hanya sekedar *putih, tapi lebih dari itu. Bagaimana kondisi kulit kita tidak berjerawat (untuk yang punya kulit oily), tidak mudah berkerut ( untuk kulit yang cenderung kering), tidak kusam, dan tidak berflek ( karena proses hiperpigmentasi dari melanosit). 

Agar kulit wajah selalu sehat, tentu kita harus *bersusah payah untuk merawatnya. Saat ini berbagai produk perawatan kulit banyak ditawarkan baik online maupun offline, dan kita sebagai konsumen sekaligus objek harus lebih selektif terhadap semua produk perawatan yang ada. Kenali jenis kulitmu ( apakah normal tanpa masalah, apakah termasuk kulit oily, ataukah termasuk kulit kering yang cenderung sensitif terhadap produk perawatan). Setelah kita tahu jenis kulit kita termasuk yang mana? kenali produk yang akan kita pakai, apakah aman? (ber sertifikasi halal untuk yang muslim, terdaftar di BPOM), cek juga kandungan produk yang kita pakai? (adakah zat yang berbahaya untuk kita? zat berbahaya untuk ibu hamil? bolehkah untuk ibu menyusui? apakah kandungannya bersifat komedogenik yang malah akan memacu timbulnya komedo yang lebih banyak lagi? apakah kandungan alkoholnya terlalu tinggi yang malah akan membuat kulit semakin kering?). And the Last, Bagaimana cara pemakaian produk perawatan tersebut? karena salah cara pakai bisa membuat kulit semakin *sakit ( terlalu kering, over oily, flek makin bertambah, etc) .

Sedikit info sebagai pembuka untuk informasi berikutnya yang akan saya ulas lebih detail lagi. Thank for reading this short review.

dr. Anis Tumpawati

 

an nashihah

Bismillahirrohmanirrohim

Tentukan Jalanmu!

 

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ ، نَذِيرًا لِلْبَشَرِ ، لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ

“Sesungguhnya (neraka) itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa saja di antara kalian yang berkehendak akan maju atau mundur.” [Al-Muddatstsir: 35-37]

Roda kehidupan ini terus berputar dan tidak mengenal kata berhenti. Dalam perputarannya, pasti ada dua hal yang menyertai: maju ke depan atau mundur ke belakang. Kalau bukan maju menuju ketaatan berarti dia mundur ke arah kejelekan. Jika tidak maju menuju surga, berarti mundur menuju neraka. Karena, tidak ada kedudukan antara surga dan neraka. (Demikian makna keterangan Ibnul Qayyim dan sejumlah ahli tafsir)

Ini semakna dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

“Setiap orang berusaha sehingga dia menjual dirinya (dalam transaksi kehidupan). Ada yang membebaskan dirinya (dari neraka), tetapi juga ada yang membinasakannya.” [Diriwayatkan oleh Muslim]

Juga Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, tetapi barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’.” [Al-Kahf: 29]

Banyak dalil lain yang semakna dengan kandungan dua ayat dan hadits di atas.

Senantiasalah tentukan jalan dan pilihanmu dalam kesempatan hidup ini. Jalan yang mendekatkanmu kepada surga adalah terang sebagaimana jalan yang mengantar kepada neraka juga jelas.

Jalan kehidupan seorang mukmin adalah jalan yang pasti, bukan keraguan, was-was, dan kebimbangan.

Selalu terbuka untuk seorang mukmin, pintu harapan akan kebaikan yang berada di sisi Allah, serta menghindarkan diri dari segala hal yang dibenci dan mendekatkan kepada neraka.

Tentukan pilihanmu, selalulah menatap ke depan, dan jangan mundur ke belakang. Semoga Allah memberi keteguhan dan kelapangan hati di atas petunjuk.

sumber: http://dzulqarnain.net/tentukan-jalanmu.html

Kiprah Muslimah

Menjadi ibu rumah tangga atau bergelutnya wanita dalam lingkup domestik merupakan kemunduran adalah sekelumit citra yang kuat tertanam sebagai buah dari propaganda emansipasi. Dengan ini, para wanita pun terpacu untuk mengejar karir meski hanya untuk meraih simbol status. Padahal tanpa disadari, banyak hal yang mereka pertaruhkan di sini.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan kaum wanita di era kiwari. Ini terkait perjuangan emansipasi yang menghendaki kebebasan kaum wanita manggung di ruang publik. Betapa tidak. Kala gerakan emansipasi ini menggerus feodalisme yang mengungkung kaum wanita, dan menyuarakan kebebasan untuk berkarir, pada saat itu kaum wanita terpelanting pada arus budaya kapitalisme. Wanita menjadi komoditas, barang dagangan utama. Wanita dieksploitasi para pemilik modal (kapitalis).1 Suara kebebasan yag didengungkan hanya mengantarkan kaum wanita menjadi mesin-mesin ekonomi. Harkat, martabat, dan kemuliaan yang dicitakan cuma sebatas angan. Malang nian nasib kaum wanita. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Emansipasi tak mampu mengangkatnya dari titik nadir keterpurukan.
Masih berkutat di ruang publik. Angin kebebasan bagi kaum wanita berembus pula ke kubangan politik. Wanita berpacu memperebutkan kursi. Entah kursi eksekutif atau legislatif. Kaum wanita pun sudah tak sungkan dan malu lagi untuk turun ke jalan. Mereka demonstrasi mengikuti arus kebebasan. Walau untuk itu, mereka harus menggendong anaknya, berbaur dengan lawan jenis, mendedahkan aurat berteriak di jalanan dan keluar rumah dengan keperluan yang tak dilandasi syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu pernah ditanya terkait aktivitas kaum Hawa di luar rumah. Beliau rahimahullahu menuturkan bahwa pokok masalah (hukum asal) pembicaraan tentang wanita ini berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala terkait individu para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Lantas beliau rahimahullahu mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu: “Sesungguhnya, hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan keluar (dari rumah). Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah, tidak keluar, kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar rumah.”
Lebih lanjut, beliau rahimahullahu menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala kalian memiliki keperluan.”2
Maka, bila seorang wanita keluar dari rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak memakai parfum (wewangian), lantaran ada keperluan, maka yang demikian diperbolehkan. Apabila dia keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap hal-hal yang kami isyaratkan tadi (seperti tidak menutup aurat atau mengenakan wewangian, pen.) atau mengganggu sebagian kewajiban di rumahnya, maka berlakulah ayat Al-Qur`an:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu.”
Tidak boleh bagi seorang wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu. Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang diminta anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya berkenaan dengan arahan dan pendidikan. (Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal. 79)
Demikian Islam membimbing kaum wanita. Namun bagi kalangan pegiat emansipasi, bimbingan semacam ini dianggap sebagai tindak mengekang kebebasan wanita. Mereka, dengan gelap mata, menuduh bahwa kaum wanita cuma diposisikan untuk urusan domestik: kasur, pupur, dapur. Atau istilah lain: macak, masak, manak3. Dengan segala latar belakang sejarah dan pemikiran gerakan emansipasi yang bertolak belakang dengan Islam, maka bagi kalangan pegiat emansipasi melihat Islam dari sudut negatif. Karena benak mereka telah dirasuki sejarah dan pemikiran emansipasi tersebut, mereka mendekati Islam dengan dasar curiga. Sehingga, mereka melihat apa yang telah diatur dalam Islam sebagai bentuk penistaan terhadap kaum wanita. Mereka melihat kemajuan dan kemuliaan wanita adalah manakala telah mampu melampaui atau sama dengan yang dicapai kaum pria. Kemajuan dan kemuliaan wanita identik dengan jabatan, gelar, atau status sosial yang dicapai. Hal-hal yang bersifat keakhiratan, keshalihan, ketaatan dan keimanan dianggap sebagai angin lalu.
Dengan corak pemikiran semacam itu, yang tidak bertumpu pada nilai-nilai Islam yang benar, maka keberadaan kaum wanita yang memainkan peran domestiknya dianggap sebagai kemunduran. Tak terbetik dalam diri mereka nilai keutamaan seorang wanita yang sabar dalam menghadapi kesulitan mengurusi rumah tangga. Tak terbetik pula dalam diri mereka, keutamaan seseorang yang tetap mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir kala sulit melilit rumah tangganya.
Dikisahkan dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Fathimah radhiyallahu ‘anha mengeluhkan tangannya akibat penggilingan (yang digerakkan tangannya). Sedangkan pada saat itu terbetik berita bahwa didatangkan tawanan perang (budak) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, bertolaklah Fathimah untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan maksud bisa meminta budak untuk dijadikan pembantu di rumahnya). Namun, ternyata dia tak bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bertemu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Diungkapkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan tentang hal itu kepada beliau. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka berdua. Saat ditemui, mereka berdua tengah berbaring di tempat tidur. “Tetaplah kalian di tempat,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau duduk di antara keduanya (Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma). Kata Ali, “Hingga aku rasakan dinginnya kedua kaki beliau di perutku.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَا؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَنْ تُكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِيْنَ وَتُسَبِّحَاهُ ثَلَاثَةً وَثَلَاثِيْنَ وَتَحْمَدَاهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
“Maukah aku ajari kalian berdua tentang sesuatu yang lebih baik dari (pembantu) yang kalian berdua minta? Apabila kalian berdua telah mendapati tempat pembaringan (menjelang tidur), hendaknya bertakbir (mengagungkan-Nya) 34 kali, bertasbih (menyucikan-Nya) 33 kali, dan bertahmid (memuji-Nya) 33 kali. Maka, itu (semua) lebih baik daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, no. 5361, dan Bab Khadimul Mar`ah, no. 5362; Muslim, Bab At-Tasbih Awwalan Nahar wa ‘indan Naum, no. 2727)
Berkenaan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, bahwa dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan diberikan kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan yang mampu dikerjakan oleh seorang pembantu. Atau (dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan mempermudah urusan. Sekiranya terjadi seseorang diberi beragam urusan, dengan (dzikir) itu akan lebih memudahkan dibanding diberi seorang pembantu kepadanya. Yang jelas, kandungan hadits di atas memiliki maksud betapa manfaat tasbih (menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikhususkan terhadap kampung akhirat, sedangkan manfaat adanya pembantu khusus menggapai (apa yang ada) di dunia saja. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal adanya. (Fathul Bari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, penjelasan hadits no. 5361, 9/484)
Begitulah solusi yang dibangun melalui pendekatan keimanan dan keshalihan.
Kisah Fathimah radhiyallahu ‘anha semoga bisa memberi secercah cahaya bagi mata hati nan gulita. Sepenggal kisah tersebut semoga pula bisa meneduhkan kalbu yang galau menatap kilau dunia. Beragam kesulitan yang silih berganti tiada henti, yang menerpa para wanita di kala mengurusi rumah tangganya, ternyata memendam untaian pahala tiada ternilai. Ketika tugas-tugas domestik itu bisa ditunaikan dengan penuh kesabaran, ikhlas semata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka urusan-urusan rumah yang digelutinya menjadi ladang kebaikan. Ia akan senantiasa mereguk pahala kebaikan yang tercurah padanya. Maka, keutamaan mana lagi yang harus dia kejar?
Tentu, bagi kalangan feminis –aktivis perempuan yang getol menyuarakan kebebasan– hal-hal keshalihan, ketaatan, keimanan, dan kesabaran dalam menggarap ladang kebaikan di rumah tak akan menggiurkannya. Jangankan tergiur, untuk menoleh sesaat saja dada terasa menyempit. Sesak terasa. Rumah baginya adalah penjara yang membelenggu kebebasannya untuk berkiprah di luar rumah. Ingatlah, bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 17)
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ اْلأُولَى
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).” (Adh-Dhuha: 4)
Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, maksud ayat ini, bahwa kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari (kehidupan) di dunia ini. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/395)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia. Berdasar hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun, nampak bekas tikar di bagian rusuknya. Lantas kami katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana) seandainya (tempat tidurmu) kami lapisi lembaran yang lebih baik?’ Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia?! Tiadalah aku dalam (menyikapi dunia) kecuali seperti seorang pengelana yang berteduh di bawah pohon, kemudian beristirahat dan meninggalkan pohon tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2377. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu)
Bila dicermati, semakin laju zaman, keengganan –bahkan penolakan– terhadap peran domestik ini makin menguat. Berpokok pada kejahilan umat terhadap Islam, diperparah dengan gempuran budaya materialistik kapitalistik sehingga membentuk cara berpikir yang pragmatis, simpel, praktis, dengan meninggalkan idealisme beragama. Bahkan kondisi demikian menggejala nyaris di semua lini kehidupan.
Tak terkecuali dengan nilai-nilai Islam. Beberapa kalangan dari kaum muslimin, khususnya mereka yang fokus terhadap emansipasi wanita, mulai bersuara sumbang. Mereka katakan, tafsir terkait masalah wanita dihasilkan dari dominasi penafsir laki-laki sehingga cenderung membela laki-laki. Terlontar pula dari mereka bahwa tafsir terkait masalah wanita dihasilkan pada abad-abad pertengahan yang merupakan abad kemunduran. Ungkapan-ungkapan yang mereka lansir adalah upaya untuk mengecoh umat dari nilai-nilai Islam. Sengaja mereka tebarkan ungkapan sejenis itu guna menjatuhkan kredibilitas para ulama. Jika umat sudah tidak lagi memercayai ulamanya, kepada siapa lagi mereka menyandarkan diri dalam masalah agama? Dari sinilah kita memahami bahwa ada rencana besar di balik ini semua, yaitu menghancurkan kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua ini.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk taqlid buta. Namun, Islam pun mengajarkan kepada umatnya untuk menghormati para ulama. Tidak melecehkan mereka, apalagi menghilangkan kepercayaan terhadapnya. Para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu dalam Akhlaqul ‘Ulama` (hal. 47), menjelaskan tentang sifat-sifat para ulama atau seorang yang alim. Beberapa pernyataan salafush shalih yang beliau nukil, seperti apa yang dinyatakan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu yang berkata: “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir menyatakan, seorang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan (yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang wara’ (yang menjauhi maksiat dan syubuhat).”
Kata Masruq rahimahullahu, “Cukuplah seorang termasuk berilmu, manakala dia takut kepada Allah k. Dan cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil) manakala dia merasa ujub (bangga) dengan ilmunya.”
Atas dasar sikap takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhlak terpuji lainnya, para ulama menyampaikan bimbingannya. Apa yang disampaikan para ulama benar-benar didasari rasa tanggung jawab yang besar. Tak cuma di hadapan umat, lebih dari itu semuanya bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya, sungguh tidak memiliki dasar ilmiah sama sekali, mereka yang melansir ucapan bahwa tafsir masalah wanita cenderung membela laki-laki, atau yang semakna dengan itu. Selain itu, dalam khazanah Islam telah terbentuk tradisi metodologi keilmuan yang ketat. Ini bisa dikaji secara ilmiah. Sehingga apa yang disampaikan para ulama bukan sesuatu yang asal ucap tanpa dasar pijakan yang kokoh.
Kebenaran itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti firman-Nya:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Jalan untuk menggapai kebenaran itu pun hanya satu. Tidak ada jalan selain jalan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karenanya, segenap manusia diseru untuk menempuh jalan yang satu tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya menyebutkan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu guratan garis dengan tangannya, kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lantas mengguratkan di sebelah kanan dan kiri garis tadi, kemudian bersabda, ‘Ini jalan-jalan, tak ada dari salah satu jalan tersebut kecuali setan menyeru kepadanya.’ Kemudian beliau membaca ayat di atas (Al-An’am: 153).”
Menempuh jalan –dalam memahami, meyakini dan mengamalkan agama– dengan jalan yang bukan dituntunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya tertolak.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada padanya, maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718)
Untuk memalingkan muslimah dari jalan Islam, kalangan feminis (baca: para aktivis emansipasi) terus mempropagandakan ide-idenya. Bisa dilihat selembar potret kusam yang menggambarkan rekayasa penghancuran kaum muslimah di Timur Tengah. Meski apa yang terjadi di Indonesia tak kalah dahsyat tentunya. Sebut misal, Markus Fahmi, seorang Qibthi Mesir, penulis buku Wanita di Timur. Dengan lantang tanpa ragu dia menuntut lima hal:
(1) Singkirkan hijab (jilbab syar’i, ed.),
(2) Membolehkan ikhtilath (membaurkan kaum wanita dengan laki-laki),
(3) Nikahkan muslimah dengan laki-laki Kristen,
(4) Menolak poligami,
(5) Talak harus di depan hakim (bukan menjadi hak suami, pen.). (Mu’amaratul Mar`ah Al-Kubra, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, 1/70-71)
Maka, adakah dari kelima hal di atas, yang kini merebak di Indonesia? Bandingkan dengan suara wanita Indonesia –meski tak semuanya– pada acara Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta: “Menoeroet hoekoem agama Islam, orang lelaki itoe boleh mempoenjai isteri lebih dari seorang, ja hingga empat orangpoen boleh djoega. Hal inilah jang menjakitkan hati kita kaoem perempoean, dan djoega merendahkan deradjatnja orang perempoean….” (Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang, Susan Blackburn, 1/98)
Seruan yang nyaris sepadan disuarakan pula oleh Ana Maria Ilyas, feminis asal Suriah, penulis Kepemimpinan atas Wanita Islam. Dia menggagas acara festival yang menjiplak mentah-mentah Festival Paris di Perancis. Festival ini menjadi ajang berbaur bebas antara pria dan wanita. Dari berbagai orang Eropa, Mesir, dan orang-orang Barat yang bermukim di Mesir, khususnya dari kalangan Kristiani, mereka berkumpul. Latar belakang mereka, selain orang-orang Eropa, juga memiliki pikiran sekularis dan Yahudi. Maka, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah, inilah hakikat seruan kepada (kebebasan) hak-hak wanita. Mungkinkah bisa terjadi seruan terhadap (kebebasan) hak-hak wanita tersebut tanpa menerima kelompok orang-orang berdosa dan menyimpang itu? (Tentunya, tidak mungkin). Bahkan, mereka adalah sumber dan tempat merujuk. Perhatikanlah, bagaimana (lantaran menyuarakan hak-hak wanita) mereka bergelimang pada perkara-perkara kekufuran, dan saling mengasihi serta melindungi! La haula wala quwwata illa billah. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/71)
Tersebut juga nama Duriyah Syafiq. Sekembali dari studi di Perancis dengan menggondol gelar doktor, ia mendirikan partai politik. Dengan lantang dia menyuarakan kebebasan kaum wanita untuk dipilih dan masuk parlemen, menghapuskan poligami, serta memasukkan sistem perundangan Eropa dalam masalah talak ke dalam undang-undang Mesir. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/72)
Bandingkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Perjuangan kaum wanita untuk mendapatkan kuota dalam pemilihan anggota legislatif semakin menganga. Kini, syarat sebuah partai politik berdiri, harus menyertakan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.
Mestikah kemajuan materi yang digapai kini hanya akan mengeraskan hati manusia? Sehingga, dengan itu manusia tak mau tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mestikah laju pengetahuan yang demikian canggih, menjadikan manusia angkuh, merasa diri mampu atas segalanya?
Sudah tiba saatnya, kaum muslimah berkaca diri. Menatap tentang keadaan dirinya. Sudahkah bersolek dengan hiasan keimanan, ketaatan, dan keshalihan? Lalu menggubah rumah menjadi madrasah bagi masa depan anak-anaknya.
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ
“Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Wallahu a’lam.

1 Dijadikan pemikat guna melariskan dan memuluskan usaha. Baik di perkantoran, di dunia periklanan, atau lainnya, nyaris selalu mengedepankan kaum wanita.
2 Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237. (pen)
3 Pupur (jw)=bedak, macak (jw)=berdandan, manak (jw)=melahirkan. Maksudnya, wanita dicitrakan tak jauh-jauh dari urusan ‘ranjang’, dandan, memasak, dan melahirkan anak.

http://asysyariah.com/print.php?id_online=612

I’tikaf dan Adab – Adabnya

Adab-adabnya, hal-hal yang dibolehkan ketika i’tikaf, serta pembatal-pembatalnya

Telah kami kami sebutkan pada pembahasan yang lalu tentang Sepuluh Terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadar dan Mengenali dan Mengamalkan I’tikaf Sesuai Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Pada kesempatan kali ini, kami akan menyebutkan beberapa adab yang hendaknya diperhatikan dan diamalkan oleh para mu’takifin, agar itikaf yang mereka lakukan benar-benar mendapatkan nilai yang maksimal di sisi Allah subnahahu wata’ala. Seiring dengan itu kami juga akan menyebutkan hal-hal yang dibolehkan bagi mu’takif ketika i’tikaf.

Tidak lupa kami juga menyebutkan pembatal-pembatal i’tikaf, yang jika seorang mu’takif melakukannya, maka i’tikafnya tidak sah, tentunya dengan harapan agar para mu’takifin bisa menghindar dan menjauh darinya. Semoga bermanfaat.

Adab-adab I’tikaf

1.       Sangat disenangi bagi seorang mu’takif (orang yang i’tikaf) untuk menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail, membaca Al-Qur’anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih dari satu kali.

2.       Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala, istighfar, do’a, dan shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir syar’i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

3.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

4.       Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya.

5.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah]

6.       Seorang mu’takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu’takifin yang lain.

7.       Senantiasa bersikap tenang, menjaga akhlak yang baik, dan tidak membuat keributan / mengganggu para mu’takifin yang lain dengan suara yang keras yang bisa mengganggu tidur mereka atau kekhusyu’an ketika shalat.

8.       Seorang mu’takif hendaknya tidak menjadikan i’tikaf dia sebagai tempat untuk kumpul-kumpul dan begadang bersama sebagian teman-temannya atau bersama orang yang mengunjunginya, kemudian mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Ini semua tidak selayaknya dilakukan karena menyelisihi hikmah yang dengannya i’tikaf ini disyari’atkan.

Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:

1.       Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]

2.       Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.

3.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.

Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها إلى بيتها

“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

4.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……

5.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan juga memotong kukunya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid. Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]

6.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka, atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

7.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.

Beberapa hal yang merusak (membatalkan) i’tikaf

Para ulama juga telah menyebutkan beberapa hal yang bisa merusak (membatalkan) i’tikaf, di antaranya:

1.       Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak.

Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُودَ مَرِيضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

“Termasuk sunnah bagi seorang mu’takif adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh atau bercumbu dengan istri, tidak keluar dari masjid untuk urusan apapun kecuali memang urusan yang harus diselesaikan (di luar masjid), tidak ada i’tikaf  kecuali dengan puasa, dan tidak ada i‘tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’.” [Shahih Sunan Abi Dawud, karya Asy-Syaikh Al-Albani] [Al-Mughni]

2.       Menggauli istri.

Para ulama sepakat bahwa seorang mu’takif jika menggauli istrinya dengan sengaja, maka i’tikafnya batal dan tidak ada kewajiban menqadha’ i’tikafnya, kecuali jika i’tikafnya tersebut adalah i’tikaf wajib. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” [Al-Baqarah: 187]

3.       Murtad (keluar) dari Islam.

Jika seorang mu’takif murtad –wal’iyadzubillah-, maka batallah i‘tikafnya, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]

Dan dengan murtadnya itu dia telah keluar dari keadaan dia sebagai seorang mu’takif. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

4.       Hilang akal.

Disebabkan minum khamr, pingsan, atau gila. Karena berakal merupakan syarat i’tikaf.

5.       Junub atau nifas.

Karena dengan itu hilanglah syarat thaharah kubra yang juga menjadi salah satu syarat i’tikaf. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

Terakhir, kami memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menjadikan amalan kita ini sebagai amalan yang ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya Yang Mulia, dan agar Dia juga menjadikan amalan ini bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di manapun berada.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Diterjemahkan dari sebagian isi http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=371486

(Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=537)

Bersabarlah Wahai Saudariku ^^

Oleh Ustadz Abu Rosyid Ash-Shinkuan

Senang, bahagia, suka cita, sedih, kecewa dan duka adalah sesuatu yang biasa dialami manusia. Ketika mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dari kesenangan-kesenangan duniawi maka dia akan senang dan gembira. Sebaliknya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka dia merasa sedih dan kecewa bahkan kadang-kadang sampai putus asa.

Akan tetapi sebenarnya bagi seorang mukmin, semua perkaranya adalah baik. Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/kesenangan, dia bersyukur maka jadilah ini sebagai kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini juga menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Kriteria Orang yang Paling Mulia
Sesungguhnya kesenangan duniawi seperti harta dan status sosial bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang. Karena Allah Ta’ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai-Nya. Akan tetapi Allah akan memberikan agama ini hanya kepada orang yang dicintai-Nya. Sehingga ukuran/patokan akan kemuliaan seseorang adalah derajat ketakwaannya. Semakin bertakwa maka dia semakin mulia di sisi Allah.
Allah berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujurat: 13)

Jangan Sedih ketika Tidak Dapat Dunia
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa seluruh manusia telah Allah tentukan rizkinya -termasuk juga jodohnya-, ajalnya, amalannya, bahagia atau pun sengsaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya.” (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)

Tidaklah sesuatu menimpa pada kita kecuali telah Allah taqdirkan. Allah Ta’ala berfirman:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al-Hadiid: 22-24)

Kalau kita merasa betapa sulitnya mencari penghidupan dan dalam menjalani hidup ini, maka ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke surga kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya dan tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke neraka kecuali aku telah larang kalian darinya. Sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan lambat rizkinya. Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertakwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rizki. Maka apabila salah seorang di antara kalian merasa/menganggap bahwa rizkinya lambat maka janganlah mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya keutamaan/karunia Allah tidak akan didapat dengan maksiat.” (HR. Al-Hakim)

Maka berusahalah beramal/beribadah dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara baru dalam agama (baca:bid’ah).

Dan berusahalah mencari rizki dengan cara yang halal serta hindari sejauh-jauhnya hal-hal yang diharamkan.

Hendaklah Orang yang Mampu Membantu
Hendaklah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta ataupun yang punya kedudukan agar membantu saudaranya yang kurang mampu dan yang mengalami kesulitan. Allah berfirman:
Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan hilangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan mudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Berdo’a ketika Sedih
Jika kita merasa sedih karena sesuatu menimpa kita seperti kehilangan harta, sulit mencari pekerjaan, kematian salah seorang keluarga kita, tidak mendapatkan sesuatu yang kita idam-idamkan, jodoh tak kunjung datang ataupun yang lainnya, maka ucapkanlah do’a berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku.” kecuali akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan.” Tiba-tiba ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do’a ini (kepada orang lain)? Maka Rasulullah menjawab: “Bahkan selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain).” (HR. Ahmad)

Juga do’a berikut ini:
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain.” (HR. Bukhariy)

Ilmu adalah Pengganti Segala Kelezatan
Di antara hal yang bisa menghibur seseorang ketika mengalami kesepian atau ketika sedang dilanda kesedihan adalah menuntut ilmu dan senantiasa bersama ilmu.

Berkata Al-Imam Al-Mawardiy: “Ilmu adalah pengganti dari segala kelezatan dan mencukupi dari segala kesenangan…. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu maka kesendiriannya itu tidak menjadikan dia sepi. Dan barangsiapa yang menghibur diri dengan kitab-kitab maka dia akan mendapat kesenangan…. Maka tidak ada teman ngobrol sebaik ilmu dan tidak ada sifat yang akan menolong pemiliknya seperti sifat al-hilm (sabar dan tidak terburu-buru). (Adabud Dunya wad Diin)

Duhai kiranya kita dapat mengambil manfaat dari ilmu yang kita miliki sehingga kita tidak akan merasa kesepian walaupun kita sendirian di malam yang sunyi tetapi ilmu itulah yang setia menemani.

Contoh Orang-orang yang Sabar
Cobaan yang menimpa kita kadang-kadang menjadikan kita bersedih tetapi hendaklah kesedihan itu dihadapi dengan kesabaran dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah, supaya Dia menghilangkan kesedihan tersebut dan menggantikannya dengan kegembiraan.

Allah berfirman mengisahkan tentang Nabi Ya’qub:
Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa.” Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya.” (QS.Yusuf: 84-86)

Allah juga berfirman mengisahkan tentang Maryam:
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.(QS.Maryam: 22-25)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam menjalankan syari’at-Nya, amin. Wallaahu A’lam.

(Sumber: Buletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-4 Tahun ke-3/17 Desember 2004 M/05 Dzul Qo’dah 1425 H. Judul asli ‘Janganlah Bersedih Wahai Saudaraku’ Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung) http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=40

Istri yang Membahagiakan Suami

Saudariku Muslimah…

Istri yang shalihah mempunyai sifat-sifat yang istimewa dan kriteria yang yang sangat jelas. Diantara inti dari kriteria tadi adalah tiga yang prinsipil, hal itu terkandung dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Sebaik-baik wanita adalah yang membahagiakanmu tatkala kamu memandangnya dan mentaatimu tatkala kamu memerintahkannya serta menjaga harga dirinya dan hartamu tatkala kamu tidak ada”. ( Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Al Hakim (2/161, Ath-Thabrani seperti yang ada dalam Al Majma’ (4/237) dari hadits Ibnu Salam. Dikeluarkan juga oleh Imam Ahmad (2/251) dan An-Nasai seperti hadits tadi dari Abi Hurairah).

Bila kalian renungkan tiga sifat yang ada dalam hadits tadi maka akan kalian dapati bahwa itu semua adalah sebaik-baik yang diidamkan oleh tiap orang laki-laki dari orang perempuan.

Istri yang membahagiakan suami

Inilah sifat yang pertama kali yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar supaya tiap-tiap perempuan yang beriman dan bertakwa bisa menggapai kebahagiaan rumah tangga.

Inilah sifat yang mengantarkan seorang perempuan muslimah kedalam kehangatan cinta suaminya kepada dirinya serta kebahagiaannya dengannya juga kebahagiaan seorang perempuan dengan suaminya.

Saudariku Muslimah…

Sesungguhnya kesempurnaan fisik adalah sesuatu yang diidam-idamkan oleh semua manusia yang berakal, baik lelaki maupun perempuan. Islam pun datang untuk mewujudkan kesempurnaan akhlak, akal dan fisik.

Wahai muslimah, hendaknya engkau menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilanmu, memperindah keadaanmu di depan suamimu dan lakukanlah itu semua dengan hal-hal yang telah Allah bolehkan dan halalkan seperti pakai inai pada kuku atau memakai celak untuk mata ataupun memakai emas serta yang lainnya.

Istri yang shalihah adalah istri yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan suaminya walau hanya dengan sekedar pandangan mata kepadanya.

Seorang lelaki bergelut dengan kejamnya kehidupan, badannya merasa letih dan kadang jiwanya pun tertekan dengan banyaknya beban pekerjaan. Dia menunggu untuk kembali –pada- hal menunggu lebih panas dari pada bara- ke rumahnya untuk menghirup udara segar, kembali dan istirahat. Bila dia masuk rumah dengan sangat letih lalu menjumpai istrinya dalam keadaan tidak sedap di pandang. Kalau demikian berarti engkau telah gagal pada awal tahapan suami istri.

Di sini ada suatu pertanyaan, kenapa itu suatu kegagalan?

Yang terjadi di sini, bahwa sang suami akan sangat tertekan dan dia akan mencari-cari sebab untuk memarahimu, baik dengan perkataan atau perbuatan. Namun tatkala sang suami pulang ke rumahnya mendapati sesuatu yang menyenangkannya dan membahagiakannya serta menyegarkan dadanya, maka dia dengan segera lupa tekanan jiwanya dan keletihan badannya.

Faktor yang paling kuat untuk mendorong cintanya seorang laki-laki terhadap istrinya adalah bahagia dan senangnya tatkala memandang kepadanya. memandang kekasih dalam keadaan yang sangat indah dan menawan adalah faktor yang paling kuat untuk mengokohkan cintanya dalam hati.

Karena itulah, seorang muslimah hendaknya sangat hati-hati agar jangan sampai pandangan suaminya tertuju kepada sesuatu yang tidak disukainya, baik bau yang tidak sedap maupun pandangan yang tidak enak atau yang lainnya, merujuk kepada riwayat Shalafush Shalih dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya saya berhias untuk istriku sebagaimana dia juga berhias untukku, saya suka untuk menunaikan kewajibanku yang harus kuberikan kepadanya dengan baik dan hal ini secara otomatis menuntut dia untuk menunaikan kewajibannya kepadaku, karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: “Dan wanita mempunyai hak yang seimbang menurut cara yang ma’ruf”. (QS. Al Baqarah : 228). Berdandan dengan sesuatu yang tidak mengandung dosa.

Para penulis sejarah dan biografi mengatakan: “Bahwa ada seorang suami yang acak-acakan rambutnya dan berdebu badannya masuk ke Khalifah Umar bin Al Khathtab Radhiallahu anhu bersama istrinya, istrinys berkata: “Bukan saya dan bukan ini (ia tidak suka) juga bukan dia wahai Amirul Mukminin”.

Umar pun mengetahui dari ucapannya bahwa ia membenci suaminya, maka beliau mengutus seseorang kepada suaminya agar supaya dia mau berdandan dengan menyisir rambutnya, memotong kukunya dan memperindah kerapiannya. Maka tatkala tiba baginya untuk menemui istrinya, maka sang istri merasa asing darinya. Lalu ia kabur darinya, namun setelah ia mengenali suaminya maka ia menerimanya dan menarik kembali tuduhannya.

Umar Radhiallahu anhu mengatakan: “Begitulah seharusnya kalian bebuat untuk mereka. Demi Allah mereka suka kalian untuk berdandan untuk mereka sebagaimana kalian suka mereka berdandan untuk kalian”.

Saudariku Muslimah…

Lihatlah bajumu sebelum datangnya suamimu, tanyakanlah kepada dirimu sendiri pertanyaan berikut ini: Apakah suamiku akan bahagia melihatku dalam keadaan seperti ini??!! Sudah pasti semua perempuan mengetahui jawabannya.

Sesungguhnya seorang laki-laki diciptakan dengan fitrahnya untuk mencintai sesuatu yang indah, kecuali orang yang merubah fitrahnya dan selalu berjalan dibelakang setiap kejahatan dan kekejian.

Ketika seorang laki-laki masuk ke dalam rumahnya dan mendapati istrinya dalam keadaan yang sangat menawan maka akan bertambahlah kecintaan terhadap istrinya dan kecenderungannya kepada dia serta memahami capainya istrinya karenanya.

Sebagian perempuan ada yang beralasan (tidak sempat berdandan) dengan pekerjaan mereka di rumah, baik memasak atau mencuci maupun yang lainnya. Katakan kepada mereka: “Hendaknya kalian menyelesaikan pekerjaan itu sebelum datangnya suami walaupun yang demikian membutuhkan kesungguhan dan rasa capai, karena hasilnya lebih besar dari capai tadi dan sungguh tak ada padanannya.

Kemudian bila seorang laki-laki bila tidak mendapati di rumahnya sesuatu yang menyenangkannya maka akan dengan segera disergap prasangka dan bisikan dari setan, lalu akan terbersit dalam matanya perempuan lain di jalan yang bisa menyenangkannya dan dalam matanya ia akan membenci istrinya.

Saudariku Muslimah…

Upayakanlah senyumanmu senantiasa menghiasi bibirmu tiap kali suamimu memandang kepadamu. Sesungguhnya senyuman itu tidak lebih lama dari kedipan mata namun hal itu akan selalu menjadi kenangan yang terus menghunjam dalam memori seorang lelaki. Juga senymanmu itu akan menyebarkan kebahagiaan dalam rumah tangga, itu adalah suatu keindahan tiada tara yang dilihat oleh seorang suami setelah seharian ia dalam keadaan penat dan letihnya kerja.

Saudariku Muslimah…

Sesungguhnya mimik wajahmu yang mengembang di hadapan sang suami pada hakikatnya lebih penting sekali daripada pakaian yang kamu kenakan dan perhiasan yang kamu pakai. Sesungguhnya cerianya senyuman dan kebahagiaan yang dilihat oleh seorang lelaki pada wajah istrinya saat ia memandangnya itu lebih dalam pengaruhnya daripada lembutnya suara lisan. Seorang lelaki lebih cepat menangkap apa yang diungkapkan istrinya dengan senyuman tulus yang tidak dinodai dengan permintaan apapun.

Sesungguhnya saya merasa bahagia dengan kedatanganmu.

Kau berikan kabahagiaan padaku dengan memandangmu.

Bahkan suatu perkara yang mesti diperhatikan bahwa senyuman itu manfaatnya akan kembali kepadamu dengan membawa kebaikan kepadamu, karena hal itu merupakan shadaqah yang kamu letakkan pada lembaran hidupmu. Dengarkanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, beliau bersabda: “ Senymanmu terhadap saudaramu adalah shadaqah”. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi(2022). Bukhari (128 ) dalam kitab adabul mufrad dari hadits Abi Dzar, dan pada bab ini juga ada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Jabir, Hudzaifah, dan Aisyah.

Wahai sudariku muslimah, jadikanlah keceriaan senantiasa memenuhi sisi kehidupanmu, kebahagiaan menyenangkan suamimu, kesuka-citaan selalu menghiasi rumahmudan ketahuilah pula bahwa manusia yang paling berhak mendapatkan ini semua adalah suamimu.

Sumber: dikutip dari buku “Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria”: Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid, penerjemah: Abu dan Ummu Muqbil, Penerbit: Pustaka Salafiyah

Tuntunan Berpakaian dan Berhijab

Penulis: Syaikh Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan

Wahai muslimah!

Sesungguhnya hijab menjagamu dari pandangan yang beracun. Pandangan yang berasal dari penyakit hati dan penyakit kemanusiaan. Hijab memutuskan darimu ketamakan yang berapi-api.

A. Sifat Pakaian yang Disyariatkan bagi Wanita Muslimah

1. Diwajibkan pakaian wanita muslimah itu menutupi seluruh badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya. Dan janganlah terbuka untuk mahram-mahramnya kecuali yang telah terbiasa terbuka seperti wajah, kedua telapak tangan dan kedua kakinya.2. Agar pakaian itu menutupi apa yang ada di sebaliknya (yakni tubuhnya), janganlah terlalu tipis (transparan), sehingga dapat terlihat bentuk tubuhnya.

3.Tidaklah pakaian itu sempit yang mempertontonkan bentuk anggota badannya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bahwasanya beliau bersabda:

“Dua kelompok dari penduduk neraka yang aku belum melihatnya, (kelompok pertama) yaitu wanita yang berpakaian (pada hakekatnya) ia telanjang, merayu-¬rayu dan menggoda, kepala mereka seperti punuk onta (melenggak-lenggok, membesarkan konde), mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya. Dan (kelompok kedua) yaitu laki-laki yang bersamanya cemeti seperti ekor sapi yang dengannya manusia saling rnemukul-mukul sesama hamba Allah. “(HR. Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa (22/146) dalam menafsirkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam:

“Bahwa perempuan itu memakai pakaian yang tidak menutupinya. Dia berpakaian tapi sebenarnya telanjang. Seperti wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga menggambarkan postur tubuh (kewanitaan)-nya atau pakaian yang sempit yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seperti pinggul, lengan dan yang sejenisnya. Akan tetapi, pakaian wanita ialah apa yang menutupi tubuhnya, tidak memperlihatkan bentuk tubuh, serta kerangka anggota badannya karena bentuknya yang tebal dan lebar.”

4.Pakaian wanita itu tidak menyerupai pakaian laki-laki.

Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita. Sedangkan untuk membedakan wanita dengan laki-laki dalam hal berpakaian adalah pakaian yang dipakai dinilai dari karakter bentuk dan sifat menurut ketentuan adat istiadat setiap masyarakat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’Al-Fatawa (22/148-149/155):

“Maka (hal) yang membedakan antara pakaian laki-¬laki dan pakaian perempuan dikembalikan pada pakaian yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan, yaitu pakaian yang cocok sesuai dengan apa yang diperintahkan untuk lak-¬laki dan perempuan. Para wanita diperintahkan untuk menutup dan menghalangi tanpa ada rasa tabarruj (mempertontonkan) dan memperlihatkan. Untuk itu tidak dianjurkan bagi wanita mengangkat suara di dalam adzan, ¬(membaca) talbiyah, (berdzikir ketika) naik ke bukit Shafa dan Marwa dan tidaklah telanjang di dalam Ihram seperti ¬laki-laki. Karena laki-laki diperintahkan untuk membuka kepalanya dan tidak memakai pakaian yang melampaui batas (dilarang) yakni yang dibuat sesuai anggota badannya, tidak memakai baju, celana panjang dan kaos kaki.”

Selanjutnya Syaikhul Islam mengatakan:

“Dan adapun wanita, sesungguhnya tidak dilarang sesuatupun dari pakaian karena ia diperintahkan untuk menutupi dan menghijabi (membalut) dan tidak dianjurkan kebalikannya. Akan tetapi dilarang memakai kerudung ¬dan memakai sarung tangan, karena keduanya merupakan_ pakaian yang terbuat sesuai dengan bentuk tubuh dan tidak ada kebutuhan bagi wanita padanya.” Kemudian beliau menyebutkan, bahwa wanita itu menutup wajahnya tanpa keduanya dari laki-laki sampai beliau mengatakan di akhir: “Maka jelas, antara pakaian laki-laki dan perempuan itu sudah seharusnya berbeda. Yakni untuk membedakan laki-laki dari wanita. Pakaian wanita itu haruslah istitar (menutupi auratnya) dan istijab (menghalangi dari pandangan yang bukan mahramnya -pent.). Sebagaimana yang dimaksud dhahir ” dari bab ini.”(11)

Kemudian beliau menjelaskan, bahwa apabila pakaian itu lebih pantas dipakai oleh laki-laki sebagaimana umumnya, maka dilarang bagi wanita. Hingga beliau mengatakan: “Manakala pakaian itu bersifat qillatul istitar (hanya sekedar menutupi aurat -pent.) dan musyabahah (pakaian itu layak dipakai oleh laki-laki dan perempuan – pent.), maka dilarang pemakaiannya dari dua bentuk (baik laki-laki maupun perempuan -pent.). Allahu a’lam. “

5.Pakaian wanita tidaklah terhiasi oleh perhiasan yang menarik perhatian (orang lain) ketika keluar rumah, agar tidak termasuk golongan wanita-wanita yang bertabaruj (mempertontonkan) pada perhiasan.

Berhijab

Bahwa seorang wanita yang menutupi badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya disebut berhijab.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, putra-putra saudara perempuan mereka. ” (An-Nur: 31)

Dalam firman-Nya yang lain:

“Dan apabila kamu ada sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). ” (Al-Ahzab: 53)

Dan yang dimaksud dengan hijab (dari ayat di atas) adalah sesuatu yang menutupi wanita termasuk di dalamnya dinding, pintu atau pakaian.

Sedangkan kata-kata dalam ayat tersebut walaupun diperuntukkan kepada istri-istri Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, namun hukumnya adalah umum untuk semua wanita mukminah.

Karena `illat (landasan)-nya adalah berkaitan dengan firman ¬Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. ” (Al-Ahzab: 53)

Dan `illat (landasan) ini adalah umum. Maka keumuman `illat menunjukkan bahwa hukum tersebut berlaku untuk umum. Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala

yang lain:

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka “. (Al-Ahzab: 59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam majmu’Al-Fatawa (22/110-111):

“Jilbab adalah kain penutup, sebagaimana Ibnu Mas’ud dan yang lainnya menamakan dengan sebutan rida’ (cadar) dan izar (sarung) sebagaimana umum menyebutnya, yakni kain sarung yang besar sebagai penutup kepala dan seluruh badan wanita. Diriwayatkan dari Abu Ubaidah dan yang lainnya, bahwa wanita itu mengulurkan jilbab dari atas kepalanya sampai tidak terlihat (raut mukanya), kecuali matanya. Termasuk sejenis hijab adalah niqab (sarung kepala). Dan dalil-dalil sunnah nabawiyyah

tentang kewajiban seorang wanita menutupi wajah dari selain mahramnya.”(12)

Dan dalil-dalil tentang kewajiban wanita untuk menutup wajah dari selain mahramnya menurut Al- Qur`an dan As Sunnah sangatlah banyak. Maka saya sarankan kepada anda wahai muslimah, (bacalah -pent.) mengenai hal tersebut di dalam Risalah Hijab dan Pakaian di dalam Shalat karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Risalah Hijab karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Risalatu Ash-Sharim Al Masyhur `ala Al-Maftunin bi As-Sufur karya Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri dan Risalah Hijab karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Semua risalah tersebut telah menjabarkan tentang permasalahan hijab beserta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Ketahuilah wahai muslimah!

Bahwa ulama-ulama yang membolehkan kamu membuka wajahmu dengan kata-kata yang menggiurkan (rayuan-rayuai gombal) sepertinya dapat menghindarkanmu dari fitnah. Padaha fitnah tidaklah dapat dihindari, khususnya pada zaman sekarang ini. Dimana sedikit sekali laki-laki dan perempuan yang menyerukan larangan agama. Sedikit sekali rasa malunya. Bahkan banyak sekali orang-orang yang mengumbar fitnah. Kemudian sangatlah terhina wanita yang menjadikan macam-macam perhiasan yang mengundang fitnah berada di wajahnya. Berhati-hatilah dari hal itu.

Wahai muslimah! Pakailah dan biasakanlah berhijab. Karena hijab dapat menjagamu dari fitnah dengan seizin Allah. Tidak ada seorang ulama -baik dahulu maupun sekarang- yang menyetujui (pendapat) para pengumbar fitnah. Dimana mereka (para wanita) terlibat di dalamnya.

Sebagian wanita muslimah ada yang berpura-pura dalam berhijab. Yakni manakala berada dalam masyarakat yang menerapkan hijab, merekapun memakainya. Dan ketika berada dalam masyarakat yang tidak menerapkan hijab, merekapun melepaskan hijabnya.

Sementara ada sebagian lainnya yang memakai hijab hanya ketika berada di tempat-tempat umum dan ketika memasuki tempat pemiagaan, rumah sakit, tempat pembuat perhiasan emas ataupun salah satu dari penjahit pakaian wanita, maka ia pun membuka wajah dan kedua lengannya, seakan-akan ia berada di samping suaminya atau salah satu mahramnya! Maka takutlah kamu kepada Allah, hai orang-orang yang melakukan hal tersebut!

Telah kami saksikan pula, beberapa wanita yang berada di dalam pesawat (yakni pesawat yang datang dari luar Arab Saudi), rnereka tidak memakai hijab, kecuali ketika pesawat mendarat di salah satu bandara di negara ini. Seolah-olah hijab itu berasal dari adat kebiasaan (bangsa Arab) dan bukan dari pokok-pokok ajaran agama.

Wahai muslimah!

Sesungguhnya hijab menjagamu dari pandangan yang beracun. Pandangan yang berasal dari penyakit hati dan penyakit kemanusiaan. Hijab memutuskan darimu ketamakan yang berapi-api.

Maka pakailah hijab. Berpeganglah pada hijab. Dan janganlah kamu tergoda oleh pengumbar fitnah yang bertujuan memerangi hijab atau mengecilkan dari bentuknya. Sebab ia ingin menjadikanmu jahat. Sebagaimana firman Allah:

Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh jauhnya (dari kebenaran). ” (An-Nisaa’: 27)

Dikutip dari Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat, Edisi Indonesia “Panduan Fiqih Praktis Bagi Wanita” Penerbit Pustaka Sumayyah, Pekalongan.

Footnote:

11. Jawabannya telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

12. Barangkali yang dimaksud adalah hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

“Ada beberapa pengendara (kendaraan) lewat di depan kami dan saat itu kami sedang ihram bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Jika mereka sejajar dengan kami, maka kami mengulurkan jilbab ke wajah kami, dan bila mereka telah berlalu, maka kami membukanya kembali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Lihat kitab Mas’uliyatul Mar’ati Al-Muslimati, bab Hijab wa Shufur oleh Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim AI-Jarullah -pent.

Sumber: http://www.darussalaf.org

Wanita Sholat Tarawih di Masjid,bolehkah?

assalamualaikum,

afwan saya mau bertanya mengenai shalat tarawih yang lebih baik dikerjakan oleh wanita dengan berjamaah di Masjid atau di rumah? jazakummulloh khoiron atas penjelasan rakaat tarawih nya.

dora…@yahoo.co.id

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Masalah serupa juga pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bazrahimahullah, beliau pernah ditanya: Banyak orang membicarakan (mempermasalahkan) tentang shalat tahajjud dan tarawihnya para wanita di masjid-masjid, bagaimanakah pernyataan anda tentang masalah seperti ini?

Beliau menjawab:

Ya, tidak mengapa para wanita shalat bersama kaum muslimin lainnya di masjid, akan tetapi hendaknya bisa menjaga diri dengan memakai hijab syar’i dan menghindari sebab terjadinya fitnah serta tidak memakai parfum yang biasa mereka gunakan di pasar-pasar.

Hendaknya seorang wanita yang akan shalat di masjid tidak memakai parfum,tabarruj (berhias), dan tidak pula menampakkan keindahan tubuhnya, akan tetapi dia harus berhijab yang syar’i, menutup tubuhnya, dan menjauhi sebab-sebab yang bisa menimbulkan fitnah.

Kalau tidak bisa demikian, maka rumahnya adalah lebih baik baginya, rumahnya adalah lebih utama dan lebih mulia bagi dia. Namun jika diperlukan untuk keluar karena kalau shalat di rumahnya akan timbul malas, atau dia menginginkan untuk mendapatkan siraman nasehat dan peringatan, maka ini tidak mengapa. Akan tetapi tetap harus dengan syarat tesebut: menjaga diri, berhijab yang syar’i, dan menjauhi segala sebab yang bisa menimbulkan fitnah, baik dengan cara tidak memakai parfum, pakaian yang mencolok, dan juga tidak menampakkan keindahan tubuhnya.

-Selesai penjelasan Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah

Sumber dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380549

Memasak Sambil Mendengarkan Al-Qur’an, bolehkah?

Saya menghabiskan berjam-jam waktu di dapur guna menyiapkan (memasak dan sebagainya) hidangan untuk suami. Karena saya bersemangat mengisi waktu saya dengan sesuatu yang berfaedah, saya pun mengerjakan tugas saya sambil mendengarkan bacaan Al-Qur`anul Karim, baik lewat siaran radio ataupun dari kaset. Apakah perbuatan saya ini bisa dibenarkan atau tidak sepantasnya saya lakukan mengingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Apabila dibacakan Al-Qur`an maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang, mudah-mudahan kalian dirahmati.(Al-A’raf: 204)

Jawab:
Fadhilatus Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:
“Tidak mengapa mendengarkan Al-Qur`an dari radio atau dari tape recorder sementara yang mendengarkan tengah sibuk dengan suatu pekerjaan. Dan ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا, karena inshat (diam memerhatikan) yang dituntut di dalam ayat adalah sesuai dengan kemampuan. Dan orang yang sedang mengerjakan suatu pekerjaan, ia inshat ketika Al-Qur`an dibacakan sesuai dengan kemampuannya.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal.578)

(Sumber: Majalah Asy-Syari’ah No.36/III/1428 H/2007; Rubrik Sakinah; Katagori: Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah; halaman 88 s.d. 89; URL sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=586)

Halalkah Upah Bekam?

Halalkah Upah Bekam? Dan Hukum Muslimah Bekerja di Luar Rumah

Tanya:
assalamua’alaikum…
ustad apa yg harus ana lakukan,akhir – akhir ini istri ana merasa bosan dirumah..
istri selalu minta kepada ana mencari kegiatan diluar,karena sebelumnya istri ana punya sdkt kegiatan yaitu bekam panggilan…tp sjk menikah ana srh dirumah,sekarang istri pngn bekam lagi..kami memang blm dikarunia anak..ana minta solusinya..& bgmana hukumnya bekam dijadikan mata pencaharian..sukron
“ibnu cali” aghatafan@yahoo.co.id

Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah. Dalam permasalahan ini ada tiga hukum yang butuh diperhatikan:
1.    Hukum wanita keluar rumah.
2.    Hukum wanita bekerja di luar rumah.
3.    Hukum menarik upah dari bekam.

Adapun yang pertama kami katakan:
Pada dasarnya seorang wanita diperbolehkan keluar dari rumahnya dengan beberapa ketentuan:
1.    Menutup aurat.
2.    Tidak memakai sesuatu yang bisa menarik perhatian (fitnah), baik berupa perhiasan maupun motif dan warna pada pakaiannya.
3.    Tidak sering keluar, yakni dia keluar ketika ada kebutuhan saja. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliah terdahulu,” sebagian mufassirin menafsirkan maknanya: Janganlah kalian terlalu sering keluar dari rumah-rumah kalian.”

Adapun hal yang kedua kami katakan:
Seorang wanita boleh-boleh saja bekerja di luar rumah selama dia membutuhkan pekerjaan tersebut dan selama tidak terjadi kemungkaran dalam pekerjaannya, semisal harus menampakkan aurat kepada yang bukan mahram atau ikhtilath (berbaurnya lelaki dan wanita) atau yang semacamnya. Adapun jika suaminya sudah memberikan nafkah yang cukup untuk dirinya dan anak-anaknya maka tidak ada alasan bagi dia untuk bekerja di luar rumah dengan mempertaruhkan kehormatannya. Karena sebagaimana yang disebutkan di atas, dia tidak boleh sering keluar rumah dan hanya boleh keluar ketika ada kebutuhan, sementara jika dia bekerja keluar rumah mengharuskan dia akan sering keluar.

Adapun masalah yang ketiga yaitu hukum menerima upah bekam, maka perlu diketahui dalam membekam juga membutuhkan modal, semisal pisau bedah, minyak habbatussauda, dan semacamnya yang memang dibutuhkan. Sehingga mengambil upah yang setara dengan modal yang dia keluarkan tentunya tidak masalah. Yang dibahas di sini adalah mengambil keuntungan dari membekam, yakni menarik upah yang melebihi modal yang dia keluarkan.
Ada dua hadits dalam permasalahan ini yang lahiriahnya bertentangan, yaitu:
1.    Hadits Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْحَجَّامِ وَكَسْبِ الْمُومِسَةِ وَعَنْ كَسْبِ عَسْبِ الْفَحْلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari hasil penjualan anjing, upah bekam, upah zina dan penjualan sperma binatang jantan.” (HR. Ahmad no. 7635)
Dan ada beberapa hadits lain yang semakna yang menunjukkan larangan mengambil upah bekam.
2.    Hadits Anas -radhiallahu anhu-.
عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ: سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ
“Dari Humaid dia berkata, “Anas bin Malik ditanya mengenai (upah) tukang bekam, dia lalu menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam dan yang membekam beliau adalah Abu Thaibah, lantas beliau memerintahkan (keluarganya) supaya memberikan kepada Abu Thaibah dua gantang makanan.” (HR. Muslim no. 2952)
Hadits ini jelas menunjukkan bolehnya memberikan upah kepada tukang bekam dan bolehnya si tukang bekam untuk menerimanya.

Cara memadukan keduanya:
Upah berbekam adalah halal dan boleh bagi tukang bekam untuk menerima upah dari pekerjaan bekamnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas tatkala beliau berkata:
احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الَّذِي حَجَمَهُ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan beliau memberi upah kepada orang yang membekam beliau. Seandainya upah bekam itu haram, tentu beliau tidak akan memberikan padanya.” (Riwayat Al-Bukhari no. 1961 -dan ini adalah lafazhnya- dan Muslim no. 2955)
Ini juga merupakan pendapat Imam An-Nawawi tatkala beliau memberikan judul bab terhadap hadits Anas riwayat Muslim di atas: Bab Halalnya Upah Bekam. Dan ini juga yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah- dalam beberapa fatwa beliau.

Adapun larangan Nabi -alaihishshalatu wassalam- untuk mengambil upah bekam, maka larangan itu bersifat makruh yakni sebaiknya dia tidak mengambil keuntungan dari bekamnya. Tapi kalau dia mengambil keuntungan maka tidak masalah dan hukumnya halal, hanya saja dia jangan mengambil keuntungan yang berlebihan, apalagi sampai menjual obat-obatan herbal yang sebenarnya tidak mengapa kalau tidak dibeli. Karena sebagian orang yang membekam juga menganjurkan -kalau tidak dikatakan terkesan memaksa- untuk membeli obat-obatan herbalnya setelah berbekam yang katanya dibutuhkan setelah berbekam, padahal sebenarnya tidak ada masalah walaupun tidak memakai obat herbal tersebut.

Kesimpulannya:
Sudah sepantasnya bagi tukang bekam untuk tidak menetapkan tarif dan juga tidak meminta upah, akan tetapi jika dia diberikan oleh orang yang dibekam maka tidak masalah bagia dia mengambilnya berdasarkan dalil-dalil umum yang mengizinkan mengambil pemberian dari orang lain. Wallahu a’lam.

Kembali kepada pertanyaan di atas kami katakan:
Mungkin solusinya agar istrinya tidak ‘bete’ di rumah adalah dia mengizinkan istrinya untuk membekam tapi sebaiknya dia melakukan prakteknya di rumah sehingga dia tidak perlu keluar. Kalaupun dia keluar maka hendaknya tidak keseringan dengan syarat-syarat yang kita sebutkan di atas. Tapi sebelum semuanya itu tentunya ada cara yang paling ampuh untuk menghilangkan ‘bete’ dan kepenatan, yaitu membaca Al-Qur`a, mendengarkan pengajian, membaca buku-buku agama, dan merawat anak-anak, insya Allah ini jauh lebih baik daripada menyibukkan diri dengan membekam, wallahu a’lam bishshawab.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/halalkan-upah-bekam.html